Jaringan Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan beberapa landasan khusus.Jaringan Islam Liberal juga bisa diartikan sebagai forum
intelektual terbuka yang mendiskusikan dan menyebarkan
liberalisme Islam di
Indonesia. Forum ini bersekretariat di
Teater Utan Kayu, Jalan Utan Kayu no. 68 H, Jakarta, sebidang tanah milik jurnalis dan intelektual senior
Goenawan Mohammad.
Prinsip
Prinsip yang dianut oleh Jaringan Islam Liberal yaitu
Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. "
Liberal"
di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Jaringan Islam Liberal
percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya
Islam di
tafsirkan
secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Jaringan Islam
Liberal memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat
terhadap Islam, yaitu "liberal". Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami
membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
Sejarah
Islam liberal menurut
Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan
Turki Utsmani
Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan.
Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan permurnian,
kembali kepada al-Quran dan sunnah.
Pada saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah
Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat
lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan pcnduduknya. Hal ini juga
terjadi dikalangan
Syiah. Aqa Muhammad Bihbihani (
Iran,
1790) mulai berani mendobrak pintu
ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Di
Indonesia
muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang
memelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad
Wahib dan Abdurrahman Wachid. (Adiyan Husaini dalam makalah Islam
Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton.
Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun
l970-an.
Pada saat itu ia telah menyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan:
Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian
(relativisme) bentuk-bentuk
formal agama
ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal,
yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap
agama.
“Pada akhir zaman, akan muncul sekelompok anak muda usia yang bodoh akalnya.
Mereka
berkata menggunakan firman Allah, padahal mereka telah keluar dari
Islam, bagai keluarnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tak
melewati tenggorokan. Di mana pun kalian jumpai mereka, bunuhlah mereka.
Orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala di hari kiamat.”
KUTIPAN bernada provokatif di atas terpampang sebagai moto sebuah
buku mungil yang judulnya menyiratkan peringatan keras: Bahaya Islam
Liberal. Buku saku setebal 100 halaman itu ditulis Hartono Ahmad Jaiz,
50 tahun, seorang mantan wartawan. Meski kecil, buku tersebut bisa
berdampak besar karena mengandung pesan “penghilangan nyawa”.
Moto itu bukan sembarang untaian kata. Melainkan terjemahan hadis
Nabi Muhammad SAW, yang tersimpan dalam kitab Al-Jami’ al-Shahih karya
Imam Bukhari. Mayoritas kaum muslim menilai hadis hasil seleksi Bukhari
memiliki kadar kesahihan amat tinggi. Jadi, perintah membunuh dalam
hadis itu bisa dipahami sebagai kewajiban syar’i (bemuatan agama) yang
bernilai ibadah.
Buku itu terbit Januari 2002, bersamaan dengan maraknya pemberitaan
tentang komunitas anak muda yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal
(JIL). Penempatan hadis riwayat Ali bin Abi Thalib tersebut sebagai moto
buku mengundang pertanyaan: apakah Islam liberal yang dikupas buku itu,
dengan demikian, sudah masuk kriteria kelompok yang dimaksud isi hadis,
sehingga wajib dibunuh?
Sang
penulis tak menjawab ya atau tidak. “Itu harus diputuskan lewat
mekanisme hukum,” ujar Hartono. Hadis tersebut, kata alumnus IAIN
Yogyakarta ini, bersifat umum. Karena itu, Hartono menyadari,
penerapannya bisa menimbulkan fitnah dan perselisihan. Maka perlu
pelibatan aparat hukum untuk meredam sengketa. Sesuai dengan kaidah
fikih: hukm al-hakim yarfa’u al-khilaf (putusan pihak berwenang
berfungsi menyudahi polemik).
Pada akhir buku, Hartono menyerukan pengadilan atas Islam Liberal
yang ia nilai “jauh dari kebenaran”. Namun, secara tersirat, ia tetap
menyarankan sanksi bunuh, ketika menutup buku dengan menampilkan kisah
Umar bin Khattab yang membunuh orang yang menolak berhukum dengan
syariat Islam. Di antara dosa JIL, di mata Hartono, juga menolak syariat
Islam.
Ibn Hajar al-Asqalani, dalam bukunya, Fathul Bari –sebuah elaborasi
(syarah) atas Shahih Bukhari– menjelaskan, hadis tersebut diwartakan Ali
ketika hendak menumpas pembangkangan kaum Khawarij (Haruriyah). Yakni
kelompok yang sangat literal memahami Al-Quran dan menilai Ali telah
kafir.
Khawarij dikenal mudah mengafirkan sesama muslim, dan tak segan
membunuh muslim yang mereka vonis kafir. Komunitas jenis inilah yang
dimaksud hadis tersebut saat itu. Pada awal 2002, Hartono memakai hadis
itu untuk buku tentang komunitas liberal, bukan kelompok literal sejenis
Khawarij.
Dengan demikian, berita gempar fatwa mati yang pernah menimpa JIL
pada akhir 2002 telah mendapat pengantar “akademik” dari buku Hartono,
11 bulan sebelumnya. Bila di awal 2002 Hartono mewacanakan eksekusi
bunuh terhadap Islam liberal, menjelang akhir tahun, lontaran itu
mengkristal dalam bentuk “fatwa mati”.
Sejumlah agamawan yang tergabung dalam Forum Ulama Umat Indonesia
(FUUI), pada 30 November 2002, berkumpul di Masjid Al-Fajar, Bandung,
dan mengeluarkan pernyataan berisi fatwa itu. Pernyataan FUUI berbunyi,
“Menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan
yang secara sistematis dan masif melakukan penghinaan terhadap Allah,
Rasulullah, umat Islam, dan para ulama.”
Mereka terpicu tulisan provokatif
Ulil Abshar Abdalla, Koordinator JIL, di Kompas, 18 November 2002, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” ,
yang dirujuk sebagai contoh penghinaan agama. FUUI menyatakan, “Menurut
syariat Islam, oknum yang menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama
dapat diancam dengan hukuman mati.”
Menurut Ketua FUUI, KH Athian Ali, fatwanya tak hanya untuk Ulil.
“Terlalu kecil jika kami hanya menyorot Ulil. Kami ingin membongkar
motif di balik Jaringan Islam Liberal yang dia pimpin,” kata Athian.
Sepanjang 2002, karena itu, menjadi tahun seruan kematian atas JIL.
Fatwa itu menyulut kontroversi luas. Sikap FUUI menuai banyak
kecaman. Inti kecaman itu: berbeda pendapat boleh, tapi jangan menebar
maut. Cukuplah sejarah memberi pelajaran pahit: dari Al-Hallaj
(Baghdad), Siti Jenar (Demak), Hamzah Fansuri (Aceh), Farag Faudah
(Mesir), sampai Mahmoud Taha (Sudan) yang kehilangan nyawa karena
pikiran berbeda.
Akhirnya FUUI mengklarifikasi: mereka tak mengeluarkan “fatwa mati”.
“Kami hanya menuntut proses hukum,” kata Athian. Ia membuktikan
ucapannya dengan mengadukan Ulil ke Mabes Polri, sepekan kemudian. FUUI
memang tak menyebut kata “fatwa mati”, tapi Athian menyatakan, dasar
hukum sikapnya terhadap JIL sama dengan sikap kepada Pendeta Suradi.
Pada Februari 2001, FUUI terang-terangan memakai kata “fatwa mati” untuk
Suradi.
Komunitas macam apa sebenarnya JIL ini? Mengapa sampai ada kelompok
lain yang menyerukan kematiannya? Setarakah “bahaya Islam Liberal”
dengan jargon “bahaya narkoba” atau “bahaya laten komunis” yang
pelakunya juga kerap diganjar hukuman mati? GATRA pernah dua kali
menggali tuntas komunitas ini: Laporan Khusus Islam “Liberal Hadang
Fundamentalisme” (8 Desember 2001) dan Laporan Utama “Fatwa Mati Islam
Liberal” (21 Desember 2002). Anggapan dan ancaman terhadap JIL itu
agaknya berlebihan.
Kemunculan JIL berawal dari kongko-kongko antara Ulil Abshar Abdalla
(Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI)
di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001. Tempat ini
kemudian menjadi markas JIL. Para pemikir muda lain, seperti Lutfi
Asyyaukani, Ihsan Ali Fauzi, Hamid Basyaib, dan Saiful Mujani, menyusul
bergabung. Dalam perkembangannya, Ulil disepakati sebagai koordinator.
Gelora
JIL banyak diprakarsai anak muda, usia 20-35-an tahun. Mereka umumnya
para mahasiswa, kolomnis, peneliti, atau jurnalis. Tujuan utamanya:
menyebarkan gagasan Islam liberal seluas-luasnya. “Untuk itu kami
memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai
politik,” tulis situs islamlib.com. Lebih jauh tentang gagasan JIL
lihat: Manifesto Jaringan Islam Liberal.
JIL mendaftar 28 kontributor domestik dan luar negeri sebagai “juru
kampanye” Islam liberal. Mulai Nurcholish Madjid, Djohan Effendi,
Jalaluddin Rakhmat, Said Agiel Siradj, Azyumardi Azra, Masdar F.
Mas’udi, sampai Komaruddin Hidayat. Di antara kontributor
mancanegaranya: Asghar Ali Engineer (India), Abdullahi Ahmed an-Na’im
(Sudan), Mohammed Arkoun (Prancis), dan Abdallah Laroui (Maroko).
Jaringan ini menyediakan pentas –berupa koran, radio, buku, booklet,
dan website– bagi kontributor untuk mengungkapkan pandangannya pada
publik. Kegiatan pertamanya: diskusi maya (milis). Lalu sejak 25 Juni
2001, JIL mengisi rubrik Kajian Utan Kayu di Jawa Pos Minggu, yang juga
dimuat 40-an koran segrup. Isinya artikel dan wawancara seputar
perspektif Islam liberal.
Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung dan diskusi
interaktif dengan para kontributornya, lewat radio 68H dan 15 radio
jaringannya. Tema kajiannya berada dalam lingkup agama dan demokrasi.
Misalnya jihad, penerapan syariat Islam, tafsir kritis, keadilan gender,
jilbab, atau negara sekuler. Perspektif yang disampaikan berujung pada
tesis bahwa Islam selaras dengan demokrasi.
Dalam situs islamlib.com dinyatakan, lahirnya JIL sebagai respons
atas bangkitnya “ekstremisme” dan “fundamentalisme” agama di Indonesia.
Seperti munculnya kelompok militan Islam, perusakan gereja, lahirnya
sejumlah media penyuara aspirasi “Islam militan”, serta penggunaan
istilah “jihad” sebagai dalil kekerasan.
JIL tak hanya terang-terangan menetapkan musuh pemikirannya, juga
lugas mengungkapkan ide-ide “gila”-nya. Gaya kampanyenya menggebrak,
menyalak-nyalak, dan provokatif. Akumulasi gaya ini memuncak pada
artikel kontroversial Ulil di Kompas yang dituding FUUI telah menghina
lima pihak sekaligus: Allah, Nabi Muhammad, Islam, ulama, dan umat
Islam. “Tulisan saya sengaja provokatif, karena saya berhadapan dengan
audiens yang juga provokatif,” kata Ulil.
Dengan gaya demikian, reaksi bermunculan. Tahun 2002 bisa dicatat
sebagai tahun paling polemis dalam perjalanan JIL. Spektrumnya beragam:
mulai reaksi ancaman mati, somasi, teguran, sampai kritik berbentuk
buku. Teguran, misalnya, datang dari rekomendasi (taushiyah) Konferensi
Wilayah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, 11-13
Oktober 2002.
Bunyinya: “Kepada PWNU Jawa Timur agar segera menginstruksikan kepada
warga NU mewaspadai dan mencegah pemikiran Islam Liberal dalam
masyarakat. Apabila pemikiran Islam Liberal dimunculkan oleh Pengurus NU
(di semua tingkatan) diharap ada sanksi, baik berupa teguran keras
maupun sanksi organisasi (sekalipun dianulir dari kepengurusan).”
Somasi dilancarkan Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis
Mujahidin Indonesia, Fauzan al-Anshari, kepada RCTI dan SCTV, pada 4
Agustus 2002, karena menayangkan iklan “Islam Warna-warni” dari JIL.
Iklan itu pun dibatalkan. Kubu Utan Kayu membalas dengan mengadukan
Fauzan ke polisi.
Sementara kritik metodologi datang, salah satunya, dari Haidar Bagir,
Direktur Mizan, Bandung. Ia menulis kolom di Republika, 20 Maret 2002:
“Islam Liberal Butuh Metodologi”. JIL dikatakan tak punya metodologi.
Istilah ”liberal”, Haidar menulis, cenderung menjadi ”keranjang yang ke
dalamnya apa saja bisa masuk”. Tanpa metodologi yang jelas akan
menguatkan kesan, Islam liberal adalah ”konspirasi manipulatif untuk
menggerus Islam justru dengan meng-abuse sebutan Islam itu sendiri”.
Reaksi berbentuk buku, selain karya Hartono tadi, ada pula buku Adian
Husaini, Islam Liberal: Sejarah Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya
(Jakarta, Juni 2002). Ada tiga agenda JIL yang disorot: pengembangan
teologi inklusif-pluralis dinilai menyamakan semua agama dan
mendangkalkan akidah; isu penolakan syariat Islam dipandang bagian
penghancuran global; upaya penghancuran Islam fundamentalis dituding
bagian proyek Amerika atas usulan zionis Israel.
Buku lain, karya Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap
Islam Liberal (Jakarta, Agustus 2003). Isinya, kumpulan perdebatan Adnin
dengan para aktivis JIL di milis Islam liberal. Energi personel JIL
akhirnya memang tersedot untuk meladeni berbagai reaksi sepanjang 2002
itu. Mulai berbentuk adu pernyataan, debat ilmiah, sampai balasan
mengadukan Fauzan ke polisi. Tapi, semuanya justru melejitkan
popularitas kelompok baru ini.
Menjelang akhir 2003 ini, hiruk-pikuk kontroversi JIL cenderung
mereda. Nasib aduan FUUI dan aduan JIL terhadap Fauzan ke Mabes Polri
menguap begitu saja. Dalam suasana lebih tenang, JIL mulai menempuh fase
baru yang lebih konstruktif, tak lagi meledak-ledak.
“Tahap awal yang menggebrak, kami kira sudah cukup. Kini kami
konsentrasi mengembangkan jaringan antarkampus,” kata Nong Darol
Mahmada, Wakil Koordinator JIL. Misinya, membendung laju skripturalisme
Islam sejenis Hizbut Tahrir yang merasuki kampus-kampus umum. Ada 10
kampus di Jawa yang dimasuki jaringan. Agustus lalu, JIL mengelar SWOT
untuk mengevaluasi kinerja dan merumuskan agenda ke depan.
Ramadan ini, JIL mengisi waktu dengan mengkaji kitab-kitab ushul fiqh
klasik ala pesantren. Seperti Ar-Risalah karya Imam Syafi’i,
Al-Muwafaqat karya Al-Syatibi, tulisan lepas Najmuddin Al-Thufi dan
Jam’ul Jawami’ karya Al-Subkhi. Acara bertajuk “Gelar Tadarus Ramadan:
Kembali ke Islam Klasik” ini berlangsung di Gedung Teater Utan Kayu.
Usai diskusi, acara dilanjutkan dengan tarawih bersama.
Di atas segalanya, aksi-reaksi yang mengiringi perjalanan JIL telah
menguakkan kenyataan bahwa JIL mempunyai “konstituen” tersendiri yang
justru mendapat pencerahan spiritual dari Islam ala JIL ini.
Misalnya, saat berlangsung talk show radio bersama Prof. Hasanuddin
A.F. tentang pidana mati dalam Islam, Desember 2002. Seorang penanya
bernama Henri Tan mengeluh akan keluar lagi dari Islam, bila Ulil
diancam-ancam fatwa mati. “Islam model Ulil ini yang membuat saya
tertarik masuk Islam. Kalau model ini mau dimatikan, lebih baik saya
keluar lagi dari Islam,” katanya.
Fakta serupa muncul dalam bedah buku Syariat Islam Pandangan Muslim
Liberal di Universitas Negeri Jakarta, Juni 2003. Seorang peserta, sebut
saja Djohan, menyesalkan fatwa mati atas Ulil. “Saya meninggalkan
Kristen dan masuk Islam justru karena keislaman model Mas Ulil. Dia
bukan pendangkal akidah, malah menguatkan akidah saya,” kata Djohan.
Tuduhan bahwa JIL mendangkalkan akidah, dengan fakta ini, perlu diuji
kembali.
Ketika digelar jumpa pers JIL menanggapi fatwa FUUI, di Utan Kayu,
Jakarta, Desember 2002, ada seorang penanggap yang mengaku berislam
secara “minimal”, alias abangan. Tadinya ia merasa terasingkan dari
wadah mayoritas umat Islam, tapi kehadiran JIL seolah merangkulnya, dan
mengakuinya sebagai muslim. Ia pun terdorong meningkatkan kualitas
keislamannya.
Lepas dari beragam kontroversinya, bagaimanapun, ada segmen
masyarakat tertentu yang membutuhkan Islam model JIL dalam merawat
spiritualitas mereka. Tentu mereka bukan hanya kalangan mualaf dan
abangan, juga para akademisi, peneliti, aktivis, dan mahasiswa yang
berpikir kritis, pluralis, dan menjunjung kebebasan. Maka, biarkan JIL
melayani konstituennya. (GTR)
Akar Islam Liberal
“Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur.
Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu
‘Islam liberal’.” ( Asaf ‘Ali Asghar Fyzee [India, 1899-1981] ).
PERKENALAN istilah “Islam liberal” di Tanah Air terbantu oleh
peredaran buku Islamic Liberalism (Chicago, 1988) karya Leonard Binder
dan Liberal Islam: A Source Book (Oxford, 1998) hasil editan Charles
Kurzman. Terjemahan buku Kurzman diterbitkan Paramadina Jakarta, Juni
2001. Versi Indonesia buku Binder dicetak Pustaka Pelajar Yogyakarta,
November 2001.
Sebelum itu, Paramadina menerjemahkan disertasi Greg Barton di
Universitas Monash, berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia, April
1999. Namun, dari ketiga buku ini, tampaknya buku Kurzman yang paling
serius melacak akar, membuat peta, dan menyusun alat ukur Islam liberal.
Para aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) juga lebih sering merujuk
karya Kurzman ketimbang yang lain.
Kurzman sendiri meminjam istilah itu dari Asaf ‘Ali Asghar Fyzee,
intelektual muslim India. Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah
“Islam liberal” dan “Islam Protestan” untuk merujuk kecenderungan
tertentu dalam Islam. Yakni Islam yang nonortodoks; Islam yang
kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi masa
depan, bukan masa silam.
“Liberal” dalam istilah itu, menurut Luthfi Assyaukanie, ideolog JIL,
harus dibedakan dengan liberalisme Barat. Istilah tersebut hanya
nomenklatur (tata kata) untuk memudahkan merujuk kecenderungan pemikiran
Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. Dalam pengertian ini,
“Islam liberal” bukan hal baru. “Fondasinya telah ada sejak awal abad
ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam dimulai,” tulis
Luthfi.
Periode liberasi itu oleh Albert Hourani (1983) disebut dengan
“liberal age” (1798-1939). “Liberal” di sana bermakna ganda. Satu sisi
berarti liberasi (pembebasan) kaum muslim dari kolonialisme yang saat
itu menguasai hampir seluruh dunia Islam. Sisi lain berarti liberasi
kaum muslim dari cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang
menghambat kemajuan.
Luthfi menunjuk Muhammad Abduh (1849-1905) sebagai figur penting
gerakan libaral pada awal abad ke-19. Hassan Hanafi, pemikir Mesir
kontemporer, menyetarakan Abduh dengan Hegel dalam tradisi filsafat
Barat. Seperti Hegel, Abduh melahirkan murid-murid yang terbagi dalam
dua sayap besar: kanan (konservatif) dan kiri (liberal).
Ada dua kelompok yang dikategorikan “musuh” utama Islam liberal.
Pertama, konservatisme yang telah ada sejak gerakan liberalisme Islam
pertama kali muncul. Kedua, fundamentalisme yang muncul akibat
pergesekan Islam dan politik setelah negara-negara muslim meraih
kemerdekaannya.
Bila Luthfi mengembalikan semangat liberal pada abad ke-19, aktivis
JIL yang lain, Ahmad Sahal, menariknya pada periode sahabat. Rujukannya
Umar bin Khattab. Dialah figur yang kerap melakukan terobosan ijtihad.
Umar beberapa kali meninggalkan makna tekstual Al-Quran demi
kemaslahatan substansial. Munawir Sjadzali juga kerap merujukkan
pikirannya kepada Umar ketika memperjuangkan kesetaraan hak waris anak
laki-laki dan perempuan.
Umar menjadi inspirator berkembangnya mazhab rasional dalam bidang
fikih yang dkenal sebagai madrasatu ra’yi. Dengan demikian, Sahal
menyimpulkan, Islam liberal memiliki genealogi yang kukuh dalam Islam.
Akhirnya, Islam liberal adalah juga anak kandung yang sah dari Islam.
Manifesto Jaringan Islam Liberal
NAMA “Islam liberal” menggambarkan prinsip yang kami anut, yaitu
Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur
sosial-politik yang menindas. Kami percaya, Islam selalu dilekati kata
sifat, sebab kenyataannya Islam ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan penafsirnya. Kami memilih satu jenis tafsir –dengan demikian
juga memilih satu kata sifat– yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam
liberal, kami membentuk “Jaringan Islam Liberal”. Landasan penafsiran
kami adalah:
1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Kami percaya, ijtihad (penalaran rasional atas teks-teks keislaman)
adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala
cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik terbatas atau keseluruhan, adalah
ancaman atas Islam, sebab Islam akan mengalami pembusukan. Kami percaya
ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik muamalat (interaksi
sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat (teologi).
2. Mengutamakan semangat religio-etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang kami kembangkan berdasarkan semangat religio-etik Quran dan
Sunnah Nabi, bukan semata makna literal teks. Penafsiran literal hanya
akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran berdasarkan semangat
religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi
bagian peradaban kemanusiaan universal.
3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Kami mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran
keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab penafsiran adalah
kegiatan manusiawi yang terkungkung konteks tertentu; terbuka, sebab
setiap penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan
benar; plural, sebab penafsiran adalah cermin kebutuhan penafsir pada
masa dan ruang yang terus berubah.
4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Kami berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kaum minoritas
tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang
mengawetkan praktek ketidakadilan atas minoritas berlawanan dengan
semangat Islam. Minoritas dipahami dalam makna luas, mencakup minoritas
agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, dan ekonomi.
5. Meyakini kebebasan beragama.
Kami yakin, urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan
yang harus dihargai dan dilindungi. Kami tidak membenarkan penganiayaan
(persekusi) atas dasar pendapat atau kepercayaan.
6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Kami yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang
negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi
kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang
tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi
kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan
segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan
publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus. (GTR)
[sumber: hasil SWOT JIL di Ancol, Jakarta, Agustus 2003/swaramuslim]
Posted by Fachri HS
Posted on Rabu, Februari 22, 2012
with 1 comment
Oleh : Prof. KH. Ali Mustafa Yakub, MA
Jaringan Islam Liberal
(JIL) adalah sebuah pemikiran yang sifatnya liberal, yang menurut mereka
tidak terpaku dengan teks-teks Agama (Al Quran dan Hadis), tetapi lebih
terikat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam teks-teks tersebut.
Dalam implementasinya pemikiran ini dapat disebut meninggalkan teks sama
sekali, dan hanya menggunakan rasio dan selera belaka.
Ditinjau
dari sudut kebahasaan. penggandengan antara kata "Islam" dan "Liberal"
itu tidak tepat. Sebab Islam itu artinya tunduk dan menyerahkan diri
kepada Allah, sedangkan liberal artinya bebas dalam pengertian tidak
harus tunduk kepada ajaran Agama (al-Qur'an dan Hadis), Oleh karena itu,
pemikiran liberal sebenarnya lebih tepat disebut "Pemikiran Iblis" dari
pada "Pemikiran Islam", karena makhluk pertama yang tidak taat kepada
Allah adalah Iblis.
Lebih jelasnya, di bawah ini kami cantumkan point-point pemikiran kelompok JIL tersebut yang kami kutip dari berbagai sumber :
>Umat
Islam tidak boleh memisahkan diri dari umat lain, sebab munusia adalah
keluarga universal yang memiliki kedudukan yang sederajat. Karena itu
larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan pria non muslim sudah
tidak relevan lagi
>Produk hukum Islam klasik (fiqh) yang
membedakan antara muslim dengan non muslim harus diamandemen berdasarkan
prinsip kesederajatan universal manusia.
>Agama adalah urusan pribadi, sedangkan urusan Negara adalah murni kesepakatan masyarakat secara demokratis.
>Hukum
Tuhan itu tidak ada. Hukum mencuri, zina, jual-beli, dan pernikahan itu
sepenuhnya diserahkan kepada umat Islam sendiri sebagai penerjemahan
nilai-nilai universal.
>Muhammad adalah tokoh histories yang
harus dikaji secara kritis karena beliau adalah juga manusia yang banyak
memiliki kesalahan.
>Kita tidak wajib meniru rasulllah secara
harfiah. Rasulullah berhasil menerjemahkan nilai-nilai Islam universal
di Madinah secara kontekstual. Maka kita harus dapat menerjemahkan nilai
itu sesuai dengan konteks yang ada dalam bentuk yang lain.
>Wahyu
tidak hanya berhenti pada zaman Nabi Muhammad saja (wahyu verbal memang
telah selesai dalam bentuk al-Qur'an). Tapi wahyu dalam bentuk temuan
ahli fikir akan terus berlanjut, sebab temuan akal juga merupakan wahyu
karena akal adalah anugerah Tuhan.
>Karena semua temuan
manusia adalah wahyu, maka umat Islam tidak perlu membuat garis pemisah
antara Islam dan Kristen, timur dan barat, dan seterusnya.
>Nilai
islami itu bisa terdapat di semua tempat, semua agama, dan semua suku
bangsa. Maka melihat Islam harus dilihat dari isinya bukan bentuknya.
>Agama
adalah baju, dan perbedaan agama sama dengan perbedaan baju. Maka
sangat konyol orang yang bertikai karena perbedaan baju (agama). semua
agama mempunyai tujuan pokok yang sama, yaitu penyerahan diri kepada
Tuhan.
>Misi utama Islam adalah penegakan keadilan. Umat Islam
tidak perlu memperjuangkan jilbab, memelihara jenggot, dan sebagainya.
>Memperjuangkan
tegaknya syariat Islam adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam
menyelesaikan masalah secara arasional. Mereka adalah pemalas yang tidak
mau berfikir.
>Orang yang beranggapan bahwa semua masalah dapat diselesaikan dengan syariat adalah orang kolot dan dogmatis.
>Islam
adalah proses yang tidak pernah berhenti, yaitu untuk kebaikan manusia.
Karena keadaan umat manusia itu berkembang, maka Agama (Islam) juga
harus berkembang dan berproses demi kebaikan manusia. Kalau Islam itu
diartikan sebagai paket sempurna seperti zaman rasulullah, maka itu
adalah fosil Islam yang sudah tidak berguna lagi.