Sabtu, 07 Desember 2013

seni ?

Seni merupakan julat yang berlainan untuk aktiviti manusia, produk serta aktiviti mereka; artikel ini memfokuskan perkara terutamanyaseni visual termasuklah penciptaan imej atau objek dalam lapangan bidang seperti seni lukisseni arcapembuatan percetakanfotografidan media visual yang lain. Pada masa kini, seni merupakan luahan kreativiti manusia yang paling dikenali dan dianggap sebagai keunggulan daya cipta manusia. Walaupun begitu, seni sukar ditakrifkan disebabkan setiap seniman mempunyai aturan dan sekatan tersendiri bagi setiap hasil kerja mereka, seni boleh dikatakan sebagai proses dan hasil dari pemilihan saluran medium, untuk menyampaikan sama ada kepercayaan, idea, rasa, atau perasaan dalam bentuk terbaik untuk saluran tersebut.
Seni sukar ditakrifkan, sebagaimana ia sukar dinilaikan, disebabkan setiap artis memilih peraturan dan tata rajah tersendiri untuk menentukan karyanya, masih boleh dikatakan bahawa seni adalah proses dan hasil pemilihan medium, set aturan untuk penggunaan medium tersebut, dan set nilai yang menentukan apa yang berhak di gambarkan melalui medium tersebut, agar dapat menyampaikan samaada kepercayaan, idea, rasa, perasaan dalam bentuk paling berkesan bagi medium tersebut. Walaupun, banyak artis terikut artis dahulu, dan sebagainya, beberapa garis panduan telah muncul untuk menetapkan bagaimana menggambarkan idea tertentu melalui simbol dan bentuk (seperti pokok selasih sebagai kekasih)
Setiap orang mempunyai pendapat tersendiri mengenai apa yang boleh dianggap seni; sebagai contoh, adakah seseorang itu boleh menghasilkan seni, sekiranya ia tidak bertujuan sebagai hasil seni? Adakah seni merupakan bentuk luahan seseorang? Adakah hasil seni dianggap seni hanya apabila ia sempurna?

APA ITU SENI?

"Seni adalah ungkapan perasaan", demikianlah pernyataan yang sering kita dengar tentang seni. Jika kita renungkan, sesungguhnya ungkapan tersebut memiliki kebenaran. Karena seni itu sendiri memang merupakan ungkapan dari pengalaman-pengalaman bathin. Pengalaman itu kemudian dituangkan melalui berbagai medium seni, yang akhirnya kita nikmati sebagai sebuah karya. Dalam dunia seni rupa, medium ini terungkap menjadi lukisan, patung, grafis, krya serta karya-karya lainnya.
SyafwandiBagi seorang seniman, berkarya merupakan sebuah tantangan yang harus dilewati. Berkarya adalah menjawab tantangan dan memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul, baik permasalah yang ada di dalam diri sendiri, maupun berbagai permasalahan yang ada di luar diri. Keinginan-keinginan untuk memecahkan permasalahan itulah yang menyebabkan seorang seniman berkarya. Berbagai permasalahan yang muncul, baik dalam diri maupun yang berada diluar diri, kemudian dialami seniman menjadi sebuah pengalaman bathin. Pengalaman bathin ini selanjutnya berubah menjadi sebuah angan-angan. Akhirnya dengan daya indah yang ada pada seorang seniman, berbagai angan yang ada, kemudian diungkapkan menjadi sebuah karya seni melalui medium seni yang dipilihnya sendiri.
Dari ungkapan di atas terlihat bahwa pada dasarnya setiap bentuk karya seni memuat unsur-unsur budaya, karena ia memang terlahir dari keinginan seorang seniman untuk merespon berbagai gejala yang timbul. Baik yang terdapat didalam dirinya sendiri maupun gejala yang berkembang diluar dirinya, atau dalam lingkungannya. Selanjutnya dengan menggunakan berbagai ungkapan yang dipilih seniman sebagai pengandaian lahirlah sebuah potret tentang kebudayaan. Yang menjadi pertanyaan kemudian ialah potret seperti apakah yang ditampilkan seniman dalam menangkap gelora budaya yang terjadi di sekitarnya. Kemudian pengandaian seperti apakah yang dipilih seniman dalam mengungkap berbagai gelora kebudayaan tersebut. Permasalahan dapat disigi dengan menggunakan pendekatan proses cipta seniman dan telaah karya tentang potret kebudayaan serta permasalahannya.
Pekerjaan mencipta merupakan sebuah usaha yang dilakukan untuk menemukan sesuatu yang baru. Hurlockdalam Utami (1988: 2-3) mengatakan bahwa kreatif adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru. Sedangkan Erich Fromm, ahli teori analisis ilmu jiwa dalam bukunya berjudul "The Creative Attitude "¦ mengatakan bahwa : Kreativitas adalah suatu kemampuan untuk melihat ( menyadari, bersikap peka ) dan menanggapi Chandra (1994: 12)
Lebih lanjut, Rogers dalam Utami (1988: 3) mengatakan bahwa; "Kreatif merupakan munculnya dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu disatu pihak, dan dari kejadian, orang-orang, dan keadaan hidupnya dipihak lain"?. Dalam pernyataan ini Rogers menekankan bahwa lingkungan merupakan faktor penting dalam proses kreativitas. Lingkungan ikut memberikan andil terhadap karya jalan fikiran seseorang. Dengan demikian karya-karya yang bermula dari proses kreasi, adalah juga hasil dari interaksi seseorang dengan lingkungannya.
Seorang seniman dapat pula disebut sebagai kreator, karena ia selalu berkarya, dan selalu mencari sesuatu yang baru. Karya seni lahir melalui sebuah proses cipta yang terjadi di dalam diri seorang seniman. Proses ini diawali dengan munculnya keinginan-keinginan yang melanda diri seniman. Keinginan-keinginan ini muncul karena dorongan yang dating dari dalam diri sendiri maupun dorongan yang datang dari luar. Selanjutnya, keinginan-keinginan yang telah mendapat dorongan tersebut diolah seniman, dengan menggunakan daya estetis yang dimilikinya.
Setiap orang pada dasarnya memiliki daya cipta, namun dalam kenyataannya belum semua orang dapat memanfaatkan daya tersebut. Karena daya cipta itu perlu pula mendapat dorongan, berupa hal-hal yang dapat menimbulkan minat untuk melakukan ciptaan.
Utami (1988: 21) mengatakan bahwa untuk menimbulkan minat kreasi, maka dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu, baik kondisi-kondisi eksternal (dari lingkungan dalam arti kata sempit dan luas, mencakup kondisi sosio-kultural dan politis) maupun kondisi-kondisi internal (pribadi, dalam diri individu) agar dapat muncul, tumbuh dan terwujud menjadi karya-karya kreatif yang bermakna uuntuk individu dan masyarakatnya, kebudayaannya.
Daya cipta seseorang sangat dipengaruhi oleh dorongan yang dimiliki oleh masing-masing diri. Semakin tinggi dorongan yang dimilikinya, maka besar kemungkinan akan diperoleh daya cipta yang tinggi pula. Utami Munandar (1988: 1) menyimpulkan bahwa " Kreativitas merupakan ungkapan unik dari keseluruhan kepribadian sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, dan yang tercermin dalam pikiran, perasaan, sikap atau perilakunya"?.
Lingkungan bathin, yaitu bakat yang memang telah dimiliki oleh seorang seniman sebagai kodratnya, atau sebagai anugerah dari Sang Pencipta. Kemudian lingkungan budaya, dimana seorang seniman telah tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan tersebut, serta lingkungan luar sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi secara lebih luas.
Selanjutnya proses mencipta juga dipengaruhi oleh keterampilan yang dimiliki oleh seorang seniman. Kemampuan melakukan, baik yang bersifat cara mengerjakan, penguasaan pokok permasalahan, atau apa yang akan dikerjakan, maupun penguasaan bahan dan alat yang digunakan dalam berkarya. Penguasaan keterampilan dan penguasaan pokok persoalan serta penguasaan bahan yang baik dapat memberikan keleluasaan kepada seniman untuk melakukan berbagai kemungkinan dalam berkarya cipta.
Sebagaimana yang dikemukakan Lowenfeld (1956: 81) bahwa: bahan yang bagus dan perkembangan keterampilan memegang peranan penting dalam mengekspresikan seni. Hanya melalui penggunaan bahan seni, ekspresi-ekspresi dapat berkembang. Seperti kata-kata amatlah penting dalam komunikasi lisan dan struktur kalimat serta paragraf penting dalam komunikasi tulisan, dalam seni, seorang seniman harus mengembangkam keterampilan-keterampilan dan teknik-teknik yang memungkinkan untuk berkomunikasi, dan dia harus mempunyai pemahaman tentang bahan-bahan yang dia gunakan supaya bisa menggunakan kualitas instrinsiknya.
Dorongan lain yang tidak kalah penting adalah tanggapan dan penghargaan, yang datang dari lingkungan seni. Yang dimaksud lingkungan seni disini ialah masyarakat yang menikmati karya seni. Tanggpan dan penghargaan ini dapat diperoleh seniman melalui pameran-pameran yang dilaksanakan. Jumlah pengunjung pada setiap pameran dapat memberikan dorongan yang baik bagi seniman dalam menunjang semangat berkarya cipta. Dengan kata lain, sebuah pameran dapat dilihat sebagai salah satu bentuk kegiatan yang berguna bagi peningkatan karya cipta seorang seniman.

Pembahasan
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, bahwa proses cipta seni sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Baik lingkungan bathin, budaya, serta lingkungan luar seniman. Maka sudah dapat dipastikan bahwa semua pengaruh tersebut akhirnya terhimpun bersamaan dengan daya estetis, yang akhirnya menjadi sebuah karya seni.
Dalam kehidupan sehari-hari, seorang seniman adalah anggota kelompok dari sebuah masyarakat. Sebagai seorang anggota kelompok masyarakat, maka ia hidup dalam tatanan nilai ataupun kaidah yang berlaku pada kelompok tersebut. Seseorang yang berasal dari kelompok masyarakat Jawa, tentulah memiliki tatanan nilai kebudayaan Jawa sebagai panduan hidup bermasyarakatnya. Begitu pula bagi anggota masyarakat Minangkabau, mereka akan hidup dalam tatanan kebudayaan Minang yang memiliki falsafah "alam takambang jadi guru". Jadi, setiap anggota kelompok suatu masyarakat, selalu berpegang kepada nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut. Selanjutnya secara bersama-sama atau mereka menjaga dan bahkan membuat sebuah kerangka kebudayaan sebagai jaminan dalam menata gelora perkembangan kebudayaan itu sendiri.
Guna menjaga proses gelora kebudayaan inilah seniman sebagai salah seorang anggota masyarakat ikut berperan melalui karya-karyanya. Ia bertanggung jawab atas berbagai gelora yang terjadi dalam lingkungannya. Karena pada dasarnya setiap bentuk kesenian selalu memiliki nilai-nilai yang bermanfaat bagi kelangsungan gelora kebudayaan dan hidup manusia. gelora budaya inilah yang merupakan salah satu unsur yang melanda seniman, sehingga menimbulkan keinginan-keinginan untuk berkarya.
Seniman dapat saja memberikan sebuah pernyataan tentang penolakan atau penerimaan berbagai gelora budaya yang sedang berlaku. Namun demikian, bukan berarti seorang seniman harus mampu memutuskan berbagai gelora yang muncul sebagai sesuatu yang harus ditolak atau diterima. Adakalanya seorang seniman cukup hanya dengan mengetengahkan berbagai gelora budaya yang sedang berlaku, kemudian diungkapkan menjadi sebuah karya. Selanjutnya melalui karya seni, berbagai gelora budaya tadi akan sampai kepada masyarakat melalui sebuah pameran. Pada saat inilah akhirnya terjadi cengkerama antara seniman dan masyarakat seni. Selanjutnya permasalahan yang sedang di alami oleh seorang seniman menyangkut gelora yang sedang berlaku di masyarakat telah berubah menjadi permasalahan bersama antara seniman dan masyarakatnya.
Senada dengan apa yang dikatakan Utami (1988: 19) bahwa berfikir bebas adalah kreasi yang bebas dari hambatan apapun. Bebas dari segala macam praduga dan streotip. Pada saat ini setiap individu memperoleh berbagai kemungkinan untuk menemukan sesuatu. Masing-masing individu memiliki kesempatan untuk menelusuri berbagai arah yang ada dalam fikirannya. Bahkan mereka mendapatkan peluang untuk menjajaki berbagai alternatif yang muncul. Keadaan inilah akhirnya yang menimbulkan berbagai penemuan baru. Apakah berupa ide-ide baru, ataupun bentuk-bentuk baru, dan lain sebagainya.
Lebih jauh Jakob (2000: 47) mengatakan bahwa sebuah benda seni disebut sebagai seni kalau sudah berada di tangan penanggap seni. Seni itu masalah komunikasi, masalah relasi nilai-nilai. Sebuah benda akan disebut seni kalau melahirkan relasi seni berupa munculnya nilai dari benda tersebut. Selanjutnya Jakob (2000: 73) menjelaskan bahwa dalam seni, perasan harus dikuasai lebih dahulu, harus dijadikan objek, dan harus diatur, dikelola, dan diwujutkan atau diekspresikan dalam karya seni. Istilah populernya "perasaan harus diendapkan dahulu". Perasaan itu telah berjarak dengan seniman. Dan, dalam kondisi semacam itu, barulah seniman dapat mengekspresikan perasaannya. Sebab ekspresi perasaan dalam seni hanya dapat terjadi dalam suasana perasaan "sekarang" yang santai, bahkan dalam suasana kegembiraan mencipta.
Dari beberapa uraian diatas dapat kita rangkum, bahwa proses cipta karya seniman selalu beranjak dari pengalaman bathin, yang diperoleh melalui lingkungan, baik lingkungan bathinnya sendiri, maupun lingkungan budaya, dan lingkungan secara keseluruhan. Keadaan seperti ini sesungguhnya telah berlangsung sejak lama, bahkan sejak zaman prasejarah. Patung-patung menhir yang terdapat di Sumatera Utara, atau patung-patung peninggalan zaman megalitikum yang sekarang dapat kita saksikan di kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat adalah bagian dari potret kebudayaan yang dituangkan melalui medium seni.
Haris Sukendar (1987: 54) mengatakan bahwa arca-arca yang ditemukan di Nias dan Pasemah, menunjukan bukti-bukti bahwa arca tersebut menggambarkan tokoh yang berkuasa atau tokoh yang terkemuka dalam masyarakat. Arca-arca tersebut hanya merupakan lambang atau simbul dari ketua adat atau tokoh yang dimaksud. Masih sulit dikatakan bahwa arca yang bertujuan sakral lebih mementingkan tujuan dan kepercayaan saja tanpa mengabaikan keindahan semata-mata, sedang arca yang digunakan sebagai lambang atau status kepala adat, bentuk-bentuk yang lebih megah dengan keindahan sempurna memegang peranan penting.
Pada zaman berikutnya, yaitu pada masa kebudayaan agama Hindu-Budha di Indonesia, terdapat bangunan candi yang dibuat dengan sangat megahnya. Candi-candi yang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan potret kebudayaan untuk masa Hindu-Budha di Indonesia. Bahkan Borobudur merupakan puncak dari seni bangun kebudayaan Hindu-Budha di dunia. Borobudur merupakan maha karya yang mengungkap tentang kesatuan manusia dalam sebuah tatanan hidup. Sebuah tatanan hidup yang dipandu oleh nilai-nilai budaya yang berkembang pada masa itu. Nilai-nilai tersebut kemudian dinyatakan dalam sebuah seni bangun.


Candi Borobudur di Jawa Tengah Kesatuan kebudayaan mencerminkan integrasi manusiaManusia merupakan kesatuan (per se), segala ciptaannya bercirikan kesatuan pula. Kesatuan manusia tidaklah sempurna. Dia selalu ada dalam jalan integrasi diri yang semakin utuh. Ujud pemersatuan diri selaku makhluk psychoorganis tidak pernah selelsai. Oleh sebab itu keseimbangan tidak bersifat statis, melainkan bersifat dinamis. Bakker (1984: 83).
Candi Borobudur dapat dilihat sebagai ungkapan dari keselarasan hidup masyarakatnya. Keselarasan terpancar dari ungkapan seni bangunnya. Borobudur terdiri bentuk-bentuk yang tersusun secara bertingkat atau berundak-undak. Pengulangan bentuk terdapat pada bentuk stupa yang disusun mulai dari bawah sampai ke undakan paling atas. Pada bagian paling atas terdapat sebuah stupa besar. Stupa ini merupakan pusat atau inti dari semua stupa yang ada. Stupa besar tersebut terletak pada titik pusat bagian atas dari candi. Dari sisi semiotika, keberadaan stupa utama tersebut memiliki makna tersendiri, yang erat hubungannya dengan daya-daya yang berada di luar alam kodrati.


Kontras antara industri dan adat perjalanan tradisional di India
Gambaran di atas memperlihatkan suatu perbedaan yang janggal antara kemajuan teknologi dengan kendaraan yang digunakan masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Latar belakang dari karya fotografi di atas memperlihatkan teknologi yang sudah maju. Sementara di latar depan terlihat beberapa orang yang dalam perjalanan dengan menggunakan unta sebagai kendaraan. Suasana yang sangat kontras terlihat dengan jelas antara kemajuan teknologi yang dicapai dengan kendaraan yang digunakan. Dari satu sisi, dapat saja orang menggunakan unta untuk keperluan rekreasi, atau sekedar bernostalgia. Di sisi yang satunya lagi, bisa saja kendaraan unta memiliki nilai-nilai khusus bagi seseorang atau sekelompok orang. Namun di sisi lain kenyataan ini juga mengungkap bahwa belum semua orang dapat menikmati kemajuan teknologi. Akhirnya, apapun penafsiran yang akan dikemukan tentang kenyataan ini, namun yang pasti, melalui karya seninya, seniman telah menyuguhkan sebuah persoalan untuk dipahami oleh masyarakat.


Gubug-Gubug di London karya G. DoreKarya lukis yang digubah oleh G. Dore ini bercerita tentang kemajuan ilmu dan teknologi yang telah dicapai, khususnya bagi masyarakat kota London, Inggeris. Namun kemudian kemajuan tersebut membawa dampak yang kurang baik terhadap kehidupan bermasyarakat. Dengan kemajuan teknologi, orang mampu membangun gedung-gedung yang megah, membuat pesawat terbang dan lain sebagainya. Tapi di sisi lain ternyata keadaan ini berakibat terhadap meningkatnya jumlah pengangguran. Sehingga pada gilirannya masyarakat kelas bawah menjadi semakin terhimpit, bahkan mereka kehilangan lahan untuk tempat tinggal. Akhirnya mereka mendirikan gubug-gubug sebagai tempat berlindung di sisi bangunan megah hasil teknologi maju tersebut.
Kesenjangan hidup inilah yang ditampilkan seniman dalam karyanya. Kesenjangan ini digubah sedemikian rupa dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pokok dalam berkarya, bagian-bagian terkecilpun ditampilkan oleh seniman dengan sangat cermat. Selanjutnya karya lukis ini mencoba mengajak pemirsanya untuk memahami arti kemajuan secara lebih dalam. Apa sesungguhnya makna kemajuan bagi keselarasan hidup manusia pendukung kebudayaan.
Dalam mengungkapkan keinginan serta pengalamannya , seniman memanfaatkan berbagai macam bentuk pengandaian. Pilihan seorang seniman terhadap pengandaianyang digunakan sangat bergantung kepada kecendrungan dan gaya masing-masing seniman. Namun demikian, semua pengandaian yang dilahirkan seniman merupakan simbol-simbol yang memiliki makna tertentu sesuai dengan pengalaman masing-masing seniman dalam merespon berbagai fenomena yang terjadi disekitarnya. Sebagaimana pengandaian yang ada dalam bidang seni suara atau seni sastra, maka dalam seni rupa pengandaian ini menjadi lebih nyata. Hal ini disebabkan karena seni rupa itu sendiri merupakan sebuah cara ungkap yang menggunakan bahasa rupa. Pada seni bangun sebagaimana yang telah diungkap pada bagian terdahulu terlihat bahwa struktur bangunan yang diciptakan merupakan gambaran dari keselarasan yang terdapat dalam masyarakat. Keselarasan ini ini kemudian diungkapkan sang arsitek melalui struktur bangunan yang tertata dengan baik. Bangunan tersebut merupakan simbol dari nilai yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat pada masa-masa tertentu. Begitu pula dengan bangunan-bangunan megah yang dideretkan bersamaan dengan gubug-gubug yang digambarkan oleh G. Dore dalam karyanya, Dore memilih objek bangunan yang megah dan gubuk sebagai pengandaian dari kesenjangan sosial yang terjadi akibat kemajuan ilmu dan teknologi.

Simpulan
Seni merupakan ungkapan pengalaman bathin yang dituangkan seniman melalui media ungkapnya. Sebagai sebuah pengalaman bathin, seni selalu hadir dengan muatan nilai yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia dan alam semesta.
Seni rupa sebagi sebuah media ungkap, berbicara dalam bahasa rupa. Ia hadir dengan berbagai bentuk pengandaian, sesuai dengan pilihan dan daya keindahan seorang seniman. Salah satu bentuk nilai yang terdapat dalam ungkapan seni adalah kebudayaan. Seni merupakan ungkapan dari cerminan cipta, karsa dan rasa manusia. Seni merupakan potret kebudayaan yang selaras dengan ruang dan waktu yang dilaluinya. Melalui karya seni kita dapat memahami gelora budaya yang terjadi, baik pada waktu lalu, sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Semua itu dikemas seniman dalam sebuah bingkai keindahan yang disebut dengan karya seni.

Daftar Bacaan
Bakker SJ, JWM. 1984. Filsafat Kebudayaan. Sebuah Pengantar. Yogyakarta; Kanisius.
Haris Sukendar.1987. Konsep Keindahan pada Peninggalan Megalitik. dalam: Estetika dalam Arkeologi Indonesia (Diskusi Ilmiah Arkeologi II ); Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
Lowenfeld, Viktor. 1956. Creative and Mental Growth. Rev.ed. Nem York. The Macmillan Company.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung; Penerbit ITB
Suwono, Bambang. 1979. Sejarah Seni Rupa Indonesia. Jakarta; Proyek penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Utami Munandar. SC. 1988. Pengertian Dan Ruang Lingkup Kreativitas. Dalam Kreatiftas Sepanjang Masa (Utami Munandar. SC. Ed). Jakarta; Pustaka Sinar harapan.
Biodata Penulis:
Syafwandi, Lahir di Payakumbuh 24 Juni 1960. S1 Pendidikan Seni Rupa (1985), mengikuti pendidikan Seni Patung dan Furniture di Jepang (1994 "“1996) S2 Jurusan Seni Rupa ITB Bandung.
http://jauharieffendy.blogspot.com/2008/08/apa-itu-seni.html

Jumat, 06 Desember 2013

kodom dari sisi aktifis peduli HIV AIDS

KODOM YANGKITA KENALadalah salah satu faktor  penghambat penyebaran HIV/AIDS
JADI APA SALAH NYA KITA KAMPANYEKAN PENGGUNAN KONDOM KETIKA MELAKUAN HUBUNGAN PRANIKAH MEMANG KELIHATANNYA SALAHTETAPI LEBIH PILIH SEXBEBAS TETAP TERJADI DI TAMBAH DENGAN PERTUMBUHAN HIV YANGSEMAKIN TINGGI, ATAU PROSES PERTUMBUAH HAIV DAPAT DIHAMBAT?

kenapa KONDOM DITOLAK oleh orang indonesia

INILAH.COM, Jakarat - Program Pekan Kondom Nasional dianggap tidak mencerminkan budaya timur.
Program itu justru kampanye budaya barat yang menganut paham seks bebas.

Polittikus Partai NasDem Ramdan Alamsyah, mengatakan, Menkes meluncurkan program kondom gratis tidak mencerminkan budaya timur, itu kampanye budaya barat yang menganut paham sexs bebas.

"Di Indonesia seharusnya pemerintah menggunakan tangan para ulama dan pemuka agama lainnya, untuk turun dan kampanye ke masyarakat dengan memberikan edukasi," kata Ramdhan kepada INILAH.COM, Kamis (5/12/2013).

Dikatakan oleh Ramdan, seharusnya pemerintah memberikan pemahaman kepada anak-anak sekolah, mulai dari SD sampai perguruan tinggi tentang bahaya sexs bebas.

"Bukan malah memberikan kondom gratis ke masyarakat, hal ini tidak akan efektif dilakukan," ujarnya.

Menurutnya, pemerintah lebih baik membuat film atau iklan layanan masyarakat yang menujukan efek HIV/AIDS di media TV itu lebih efektif dan mengena. Karena, HIV/AIDS itu kan penyakit yang salah satunya disebabkan oleh gaya hidup serta lingkungan yang mendukung untuk hal itu.

"Jadi, pemberian kondom itu secara tidak langsung 'mengajarkan' masyarakat untuk melakukan sexs bebas. Apalagi, pemberiannya tidak dengan edukasi, hanya bagi-bagi saja, itu nol besar tidak akan efektif," tandasnya.[man]

apa itu kondom?

Kondom

Ein unausgerolltes Kondom.
Ein Kondom (auch Präservativist eine dünne Hülle, zumeist aus vulkanisiertem Kautschuk, die zur Empfängnisverhütung und zum Schutz gegensexuell übertragbare Erkrankungen vor dem Geschlechtsverkehr über den erigierten Penis des Mannes gestreift wird.

Geschichte

Kondom aus Tierdarm mit Seidenbändern und lateinischer Gebrauchsanleitung von 1813
Kondom aus tierischer Membran (um 1900)
Kondom-Werbung, 1918
Die ersten Kondome wurden aus gewebtem Stoff gefertigt. Sie waren nicht besonders wirksam bei der Empfängnisverhütung. Die ersten wirkungsvollen Kondome wurden aus Schafsdärmen oder anderen tierischen Membranen hergestellt und sind auch heutzutage noch erhältlich. Sie gelten bei manchen vielleicht als sinnlicher, fühlen sich dank weniger Elastizität und Slip-Stick anders an, sind nicht so wirkungsvoll wie künstlich hergestellte Kondome bei der Verhütung von Schwangerschaften sowie sexuell übertragbarer Krankheiten (beispielsweise HIV-AIDSHepatitis B). Bereits Casanova benutzte solche Kondome, die im 18. Jahrhundert English Overcoats genannt wurden, um sich vor der gefürchteten Syphilis zu schützen. Über die Namensherkunft gibt es viele Theorien. Die verbreitetste ist, dass sie ihren Namen von Oberst Dr. Condom erhalten haben, der Hofarzt von Charles II.war und Hammeldärme zur Empfängnis- und Infektionsverhütung empfohlen haben soll. Eine andere Variante bezieht sich auf die Kombination der Wortbestandteile „con“ (ital., bzw. vom lat. „cum“ abgeleitet, für „mit“) und „doma“ (vom lat. „domus“ für „Haus“ oder „Kuppel“).
1839 machte Charles Goodyear eine bahnbrechende Erfindung: die Vulkanisierung von Kautschuk. Damit war es möglich, Gummi herzustellen, das wasserfest, wärme- und kältefest sowie bruchstabil war. 1855 stellte dieser das erste Gummi-Kondom her, das 1870 mit zwei Millimeter Dicke und vernäht serienmäßig produziert wurde. 1912 entwickelte der Gummifabrikant Julius Fromm eine Methode nahtlose Kondome herzustellen, indem ein Glaskolben in eine Gummilösung eingetaucht wurde. Ab 1930 wurde Latex als Material benutzt. Durch diese Entwicklung wurden verhütende Latex-Kondome allgemein verfügbar. Der Verkauf von Kondomen war bis zur Mitte des 20. Jahrhunderts aber vielerorts verboten, beziehungsweise nur zum medizinischen Gebrauch erlaubt. In Irland galt eine solche Regelung noch bis Anfang der 1990er Jahre.
Im Ersten Weltkrieg gehörten Kondome zur Standardausrüstung der Soldaten. Die deutsche, französische und britische Armee verteilten Kondome unter den Soldaten, die US-Armee jedoch nicht, so dass US-Soldaten häufiger unter Geschlechtskrankheiten litten als Angehörige anderer Armeen.
Die frühen Latex-Kondome waren alle prinzipiell recht ähnlich. Der wesentliche Unterschied war bei einigen Kondomen das Fehlen des heute üblichenReservoirs zur Aufnahme der Samenflüssigkeit (Ejakulat). Eine frühe Entwicklung – die short cap – die nur über die Eichel des Penis gestreift wurde, scheiterte bei der Reduzierung von Schwangerschaften und Krankheiten.
In den nachfolgenden Jahrzehnten entwickelten Hersteller Kondome in vielen Variationen, die sich in Materialien, Größen (Länge und Breite), Stärken, Farben, Formen und Struktur, unterscheiden.

Materialien

Kondom, ausgerollt
Kondome werden meistens aus Naturkautschuk-Latex, Polyethylen (PE), Polyurethan (PUR) oder Polyisopren (PI) gefertigt. Zudem gibt es Kondome aus spezialbehandeltem Naturdarm („Naturalamb“), die allerdings nicht vor sexuell übertragbaren Krankheiten schützen. Polyisopren ist im Gegensatz zu PU dehnbarer als Latex (größeres Berstvolumen, allerdings kleinerer Berstdruck).[1] PUR besitzt ein kleineres Berstvolumen als Latex, der Berstdruck ist aber wesentlich höher.[1] Zu Kondomen aus Polyisopren und Polyurethan fehlt allerdings (Stand 2009) eine Prüfnorm und Testergebnisse und langjährige Erfahrungen.[1]
Die Produktion von Kondomen aus Naturkautschuklatex erfolgt meist in sieben Schritten:[2]
  1. Eintauchen des Formkörpers in flüssiges Naturkautschuklatex
  2. Austauchen der Form und Trocknen (Vulkanisieren) des anhaftenden Gummifilms
  3. Abziehen des getrockneten und verfestigten Gummifilms von dem Formkörper
  4. Spülen des Gummifilms und Puderbeschichtung
  5. Trocknen des gewaschenen und puderbeschichteten Gummifilms
  6. elektronische Einzelprüfung auf Dichtheit
  7. Aufrollen des Kondoms
  8. Verpackung nach Abschluss der Produktion des Produktes
Latex-Kondome werden durch fetthaltige Substanzen, wie z. B. Massageöl oder Vaseline, porös und verlieren ihre Schutzwirkung.[3] Polyisopren ist synthetisch aber unterscheidet sich nur durch fehlende Eiweissstoffe von Latex und wird daher ebenso porös [4] [5]Gleitmittel auf Wasserbasis und Silikonöl sind latexverträglich. Kondome aus PE oder PUR sind zusammen mit fett- beziehungsweise ölhaltigen Gleitmitteln einsetzbar. Für Latexallergiker sind Kondome aus Polyethylen, Polyurethan oder Polyisopren eine mögliche Alternative.

Ausführungen

Kondome sind individuellen Bedürfnissen entsprechend in verschiedenen Größen, Stärken, Farben und in verschiedenen Geschmackssorten für Oralverkehr sowie mit besonderen Oberflächenstrukturen zur Stimulation und Steigerung der Lust erhältlich. Für Analverkehr gibt es extra starke Kondome mit erhöhter Wanddicke (0,1 mm), die den Belastungen dieser Sexualpraktik besser standhalten sollen und daher empfohlen werden. Mit Spermizid behandelte Kondome bieten eine zusätzliche Sicherheit und Kondome mit Benzocain, einem Lokalanästhetikum, versprechen ausdauernden Sex. Mit dem Film Skin Deep wurden Kondome populär, die im Dunkeln leuchten. Für z. B. Veganer sind tierversuchsfrei entwickelte Kondome erhältlich. Die größte Vielfalt wird in Standardgrößen (je nach Hersteller 52 mm oder 54 mm) angeboten, bei kleineren oder größeren ist die Auswahl zumindest begrenzt.

Normung

Kondome waren in Europa seit 1996 nach DIN EN 600 normiert. Diese Norm regelte einerseits die Größe (mindestens 17 Zentimeter lang und (flach ausgebreitet) 4,4–5,6 Zentimeter breit), andererseits die Testverfahren, nach denen die Präservative auf ihre Haltbarkeit, Festigkeit und Dichtigkeit geprüft werden. Um zu prüfen, ob sie dicht sind, werden sie in eine Elektrolytlösunggetaucht. Leuchtet die Lampe an der Prüfstation auf, so fließt Strom durch das Kondom, das heißt es ist undicht und wird aussortiert. Beim Test auf Reißfestigkeit und Dehnungsfähigkeit muss ein Kondom eine Dehnung bis auf das Siebenfache seiner Normalgröße unbeschädigt überstehen. Einem Test der Stiftung Warentest aus dem Jahre 1999 zufolge erreichten allerdings drei von 29 getesteten Kondomen die Prüfziele nicht.
Seit 2002 gilt die internationale Norm EN ISO 4074, abgestimmt zwischen CEN und ISO, die unter anderem einen flexibleren Spielraum für Normierung der Größe einräumt. Das Kondom muss hiernach mindestens 16 cm lang sein und je nach Breite ein bestimmtes Mindestvolumen (im aufgeblasenen Zustand) garantieren. Eine Beschränkung auf maximal 5,6 cm Breite besteht nicht mehr, der Hersteller muss lediglich eine Standardabweichung von +/− 2 mm gegenüber dem auf der Verpackung angegebenen Wert einhalten. In Deutschland löst DIN EN ISO 4074 die Norm EN 600 ab. Kondome, deren Verpackung den Aufdruck „EN 600“ tragen, durften nur bis 2004 verkauft werden.[6] Fast alle auf dem europäischen Markt verfügbaren Kondome richten sich noch nach den maximalen und minimalen Größenangaben der DIN EN 600 (Stand: November 2005), während erste Hersteller anfangen, ihre Produktlinien anzupassen, um der vom Konsumenten gewünschten Größenvielfalt Rechnung zu tragen.

Kondomgrößen

Bis 2002 war die nominelle Breite von Kondomen durch Norm DIN EN 600 auf minimal 44 mm und maximal 56 mm beschränkt. Die Standardgröße von 52 mm nomineller Breite wurde nach oben nur um "XXL"-Kondome mit 56 mm Breite ergänzt. Inzwischen bieten einige Hersteller auch Kondome von 47 mm bis zu 69 mm Breite an.
Die Kondome sollen für maximalen Komfort und maximale Sicherheit passend zur Penisgröße (Umfang) gewählt werden[7]. Das Kondom sollte eine geringfügig kleinere nominelle Breite haben als der halbe Penisumfang im vollständig erigierten Zustand an der breitesten Stelle. So ist sichergestellt, dass das Kondom nicht stark gedehnt wird aber trotzdem durch ausreichend Spannkraft gehalten wird. Die Standardbreite von 52 mm entspricht demnach einem Penisumfang von etwas mehr als 10,5 cm, eine Kondomgröße von 60 mm einem Penisumfang von etwas mehr als 12,0 cm und Kondomgröße 69 mm einem Penisumfang von etwas mehr als 14,0 cm.
Eine Online-Umfrage hat für deutsche Männer einen durchschnittlichen Penisumfang von 11,80 cm ergeben[8], eine Messung durch Mediziner an 111 jungen und 32 älteren Männern ergab eine durchschnittliche Breite an der Basis von 3,95 cm und 3,50 cm (entspricht 12,4 cm und 11,0 cm Umfang)[9]. 80 kalifornische Männer haben einen mittleren Umfang von 12,30 cm[10] und 93 indische Männer einen Umfang von 11,46 cm[11]. Diese durchschnittlichen Penisumfänge entsprechen einer Kondomgröße von 56 mm bis 60 mm.
Einige Studien legen nahe, dass zu kleine Kondome beim Geschlechtsverkehr leichter reißen, was den Schutz vor Schwangerschaft und sexuell übertragbaren Krankheiten aufhebt. Bei einer Studie mit 184 Männern (durchschnittlicher Penisumfang 13,19 cm) und 3.658 Kondomen kam es in 1,34 % der Fälle zum Reißen der Kondome. Die Wahrscheinlichkeit war stark mit dem Penisumfang korreliert: Ein um 1 cm größerer Umfang erhöhte die Wahrscheinlichkeit um 50 % bis 100 %[12]. Diese Beobachtung deckt sich mit Umfrageergebnissen, wonach Reißen bei Männern mit größerem Penisumfang häufiger vorkommt[13][14][15][16]. Es ist jedoch wissenschaftlich nicht untersucht, ob verschiedene Kondomgrößen dieses Risiko verringern.

Qualitäts- und Gütesiegel

Qualitätssiegel der DLF
1981 wurde in Deutschland das erste Qualitätssiegel für Kondome erteilt: das DLF-Gütesiegel (DLF = Deutsche Latex-Forschungs- und Entwicklungsgemeinschaft). Die DLF ist ein Zusammenschluss von verschiedenen Herstellern. Um das Gütesiegel zu erhalten, wird am Kondom eine Reihe von Normprüfungen durchgeführt. Zusätzlich sind unabhängige Prüfungen von außen erforderlich.
Die Kondome werden in vier Prüfungen getestet:
  1. Dichtigkeitstest
  2. Aufblastest
  3. Dehnungstest
  4. Mikrobiologische Reinheit
In der Schweiz gibt es den „Verein Gütesiegel für Präservative“. Mit dem Gütesiegel wird garantiert, dass das Kondom der Euronorm für Präservative entspricht. Zusätzlich hat der Verein einen eigenen Kriterienkatalog. Jede Produktionseinheit wird von einem unabhängigen Labor getestet, bevor sie zum Verkauf freigegeben werden darf. Der Verein führt auch Stichproben in Verkaufsläden durch.

Verwendung in Deutschland

In Deutschland wurden im Jahr 2010 rund 214 Millionen Kondome verkauft. Nach Angaben der Bundeszentrale für gesundheitliche Aufklärung (BZgA) hat sich die Benutzung von Kondomen in den vergangenen Jahren immer mehr durchgesetzt. Einer Forsa-Umfrage im Auftrag der BZgA zur Folge verwendeten 2010 in der Altersgruppe der 16- bis 44-Jährigen 87 Prozent zu Beginn einer neuen Partnerschaft Kondome. 1994 schützten sich nur 69 Prozent.[17]

Alternativen und Anwendungsvarianten

Benutzung des Femidoms
Eine verhütende und zugleich vor Krankheitsübertragungen schützende Alternative zum Kondom ist seit neuerer Zeit das oft als „Kondom für die Frau“ bezeichnete so genannte Femidom.
Die Südafrikanerin Sonette Ehlers stellte mit Rape-axe 2005 eine Sonderform des Femidoms vor, die der Verhütung von Vergewaltigungen dienen soll.
Aus einem Kondom kann man bei Bedarf ein Lecktuch herstellen, das bei einem oralen Vaginalverkehr (Cunnilingus) oder oralen Analverkehr (Anilingus) vor einer Infektion schützt.
Im Rahmen einer vaginalen Sonografie streift der Frauenarzt ein Kondom über die Ultraschallsonde, um den Schutz vor Infektionen während der Untersuchung sicherzustellen.
Das Kondomurinal ist ein Hilfsmittel in der Pflege von an Harninkontinenz leidenden Männern, es besitzt die Form eines Kondoms mit Anschlussmöglichkeit eines Schlauches zur Harnableitung.
Simple Kondome werden von männlichen Segelfliegern als Notlösung um Urin aufzufangen mitgeführt. Trotz Pinkelroutine vor dem Start kann es durch die Kälte in der Höhe und überraschend lange Flugdauer zu Harndrang kommen.

Vor- und Nachteile sowie Risiken des Kondoms als Verhütungsmittel

Vorteile

  • Im Gegensatz zu Verhütungsmitteln wie dem Implanon oder der Spirale, die eine fehlerhafte Anwendung ausschließen, weichen bei Kondomen der Pearl-Index bei durchschnittlicher Anwendung und der Pearl-Index bei idealer Anwendung stark voneinander ab. Bei perfekter Anwendung kann ein Pearl-Index von 0,6 erreicht werden.[18] Bei typischer Anwendung liegt der Pearl-Index zwischen 2 und 15.[19] Der hohe Unsicherheitsfaktor beruht in erster Linie auf Fehlverhalten bei der Anwendung, falscher Kondomgröße und falscher Lagerung der Kondome (Frost/Hitze/mechanischer Stress).
  • Das Kondom ist wie das Femidom ein Verhütungsmittel, das nicht nur eine Schwangerschaft, sondern auch eine Ansteckung mit einigen sexuell übertragbaren Krankheiten (beispielsweiseHIVGonorrhoe und Hepatitis C, nicht jedoch HPV) weitgehend verhindert.[20]
  • Viele Männer geben an, mit einem Kondom die Erektion länger aufrechterhalten zu können.

Nachteile

  • Kondome können als unangenehm empfunden werden, da sie den Hautkontakt verhindern. In sexualwissenschaftlichen Studien geben viele Männer an, Kondome würden die Empfindungen verringern. Auch das Überziehen wird oft als Unterbrechung und Störfaktor im Liebesspiel angesehen.[21] Einige Sexualwissenschaftler sind jedoch der Ansicht, dass die Verringerung der Empfindungsfähigkeit und das Kondom als Störfaktor mehr psychisch durch das Wissen um das Kondom als physisch durch dieses selbst bedingt ist.[22][23]
  • Vereinzelt treten auch Fälle von Latex-Allergien auf. Die meisten Menschen reagieren jedoch nur sensibel auf die Inhaltsstoffe der einen oder anderen Gleitbeschichtung, dabei können zwischen verschiedenen Marken große Unterschiede bestehen. Zusätzlich bieten manche Hersteller komplett unbeschichtete bzw. trockene Präservative für diesen Fall an. Einige Probleme lassen sich auch auf die spermizide Beschichtung zurückführen. 90 % aller allergischen Reaktionen im Genitalbereich werden durch den Wirkstoff Nonoxynol-9 ausgelöst.[24] Gelegentlich lassen sich Probleme auch durch das Silkon begründen, welches in vielen Gleitmitteln enthalten ist. Für Latex-Allergiker gibt es auch latexfreie Kondome aus Polyurethan. Diese sind dünner, besonders gefühlsecht und geruchlos, allerdings auch deutlich teurer als Latex-Kondome.
  • Der starke Latex-Geruch wird von vielen Menschen als unangenehm empfunden. Allerdings gibt es Kondome mit künstlichem oder gar keinem Geruch.

Risiken

In der Praxis führen Fehler in der Handhabung immer wieder zu ungewollten Schwangerschaften.
  • Schon das Berühren der weiblichen Geschlechtsteile mit der (ungewaschenen) Hand, mit der das Kondom abgezogen wurde, kann zu einer Schwangerschaft führen.
  • Bevor das Kondom übergestreift wird, kann es bereits zu unbemerktem Austritt von Sperma kommen, was auch hier zu dem Risiko führt, wenn Körperteile die Vagina berühren, die mit dem Penis in Berührung kommen, bevor das Kondom übergestreift worden ist. Das Gleiche gilt für das Überstreifen des Kondoms. Wird im Laufe des Vorspiels, das meist aus Spielarten desPettings besteht, vor der Benutzung des Kondoms der Penis im Bereich der Eichel berührt, so besteht die Gefahr, dass einzelne Spermien beim Überziehen auf die Oberfläche des Kondoms gelangen und so den Weg in die Scheide finden. Das dadurch entstehende Risiko wird durch mit Spermizid beschichtete Kondome gesenkt.
  • Nichtvollständiges Abrollen oder ein Abrollen, das ungleichmäßig erfolgt und damit das Kondom nicht weit genug hin zur Peniswurzel bringt, kann zu einem Ablösen des Kondoms vom Penis während des Geschlechtsaktes führen.
  • Lange Fingernägel können das Kondom beim Abrollen oder beim Aufreißen der Packung beschädigen. Diese Gefahr besteht auch, wenn während des Sex' die Geschlechtsteile der Frau zusätzlich mit den Fingern stimuliert werden.
  • Beim Einsatz ölhaltiger Gleitmittel wie BodylotionMassageölBabyölVaselineBackfett (wie z. B. das früher unter Homosexuellen verbreitete Crisco) oder bestimmter Spermizide wieScheiden-Zäpfchen (Suppositorien) und einiger homöopathischer Behandlungen kann die Latexstruktur Schaden nehmen, wenn sie nicht für den Einsatz mit Kondomen freigeben sind. Angaben dazu befinden sich meist auf der Verpackung oder dem Beipackzettel. Das Kondom verliert unter solchen Umständen innerhalb von weniger als fünf Minuten seine Dehnbarkeit und, auch wenn das Kondom manchmal nicht reißt oder sichtbare Beschädigungen aufweist, wird es doch durchlässig, beispielsweise für Viren. Wasserhaltige und silikonhaltige Gleitmittel oder Gleitmittel auf Dimeticone-Basis haben solche Risiken nicht.
  • Bei Einsatz rezeptfreier oder rezeptpflichtiger Arzneimittel an Penis oder Vagina rät es sich, Arzt oder Apotheker um Rat zu fragen, da diese die Sicherheit der Kondome beeinflussen können.
  • Falsch aufbewahrte oder nach Verstreichen des Verfalldatums verwendete Kondome können Beschädigungen aufweisen, oft auch unsichtbar, die Viren oder Samen durchlassen. Schädliche Einflüsse sind vor allem Sonneneinstrahlung, Hitze, Kälte sowie mechanische Beanspruchung, die vor allem bei der Aufbewahrung im Auto, Geldbeutel oder in der Hosentasche auftreten.
  • Die Verwendung eines (im Verhältnis zur Penisgröße) zu kleinen Kondoms kann Schmerzen oder Durchblutungsprobleme verursachen.[25] Ein zu großes Kondom rutscht leicht vom Penis ab, wodurch Sperma in die Scheide gelangen kann und kein Schutz mehr besteht. Ein zu kleines Kondom reißt leichter oder kann sich zurückrollen.[26][27] Maßgeblich für die richtige Kondomgröße ist nicht dessen Länge, sondern ein zum Penisumfang passender Durchmesser. Die Standardbreite liegt bei 52–53 mm, XXL-Kondome haben häufig nur eine nominale Breite von 55–57 mm während im Fachhandel auch Kondome mit einer nominalen Breite zwischen 49 und 69 mm erhältlich sind.
  • Des Weiteren sind auch Wechselwirkungen zwischen Spermiziden und Antimykotika während der Behandlung von Pilzinfektionen bekannt, welche den zusätzlichen Schutz der Spermizidschicht beeinträchtigen können.
  • Kondome, die mit dem Spermizid Nonoxynol-9 beschichtet sind, können die Empfänglichkeit für HIV und andere sexuell übertragbare Krankheiten erhöhen. In diesem Zusammenhang spricht sich die US-amerikanische FDA für einen Warnhinweis auf Kondomverpackungen aus.[28]
  • Entgegen anderslautender Pressemeldungen[29] enthalten Kondome laut mehrerer Studien keine gesundheitsgefährdenden Mengen an krebserregenden Nitrosaminen.[30][31][32]

Haltung der römisch-katholischen Kirche

Im Gegensatz zur Haltung der meisten protestantischen Kirchen, wie beispielsweise der in der EKD zusammengeschlossenen[33], ist nach der offiziellen Position der römisch-katholischen Kirche(Humanae Vitae) der Gebrauch von Verhütungsmitteln in der Ehe abzulehnen, da er wegen der künstlichen Verhinderung der Kindszeugung nicht der Würde des Menschen entspreche.
„Ebenso ist jede Handlung verwerflich, die entweder in Voraussicht oder während des Vollzugs des ehelichen Aktes oder im Anschluß an ihn beim Ablauf seiner natürlichen Auswirkungen darauf abstellt, die Fortpflanzung zu verhindern, sei es als Ziel, sei es als Mittel zum Ziel“
Als Möglichkeit verantworteter Elternschaft wird einzig die sogenannte natürliche Familienplanung, z. B. nach Knaus-Ogino oder die Symptothermale Methode akzeptiert. Unter Papst Benedikt XVI. sprach sich Kardinal Barragán für eine Ausnahme der grundsätzlichen Ablehnung aus, falls in einer Ehe ein Ehepartner HIV-infiziert sei.[34][35][36] Papst Johannes Paul II. vertrat auch für solche Fälle als einzig moralisch vertretbare Möglichkeit die Enthaltsamkeit.
Im November 2010 vertrat Benedikt XVI. in einem von der Kirchenzeitung L’Osservatore Romano vorab zitierten informellen Interview aus dem Buch Licht der Welt selbst die Position, dass der Einsatz von Kondomen für begründete Einzelfälle zu erwägen sei und nannte als Beispiel den Fall männlicher Prostituierter.[37] Nach allgemeinen Pressestimmen, die dies als revolutionären Schritt gewertet hatten, stellte der Vatikansprecher Federico Lombardi klar, dass die Bewertung der Verhütung oder der Sexualität nicht geändert wurde.[38][39] Kurz darauf wies er Spekulationen zurück, die Aussage beschränke sich auf homosexuelle männliche Prostituierte. Sie gelte auch für heterosexuelle und transsexuelle, weibliche ebenso wie männliche Prostituierte.[40][41]
Mondos „feucht“ aus der DDR. (3 Stück 2,00 Mark)
Die römisch-katholische Kirche hat mit Bezug auf die Versagerquote des Kondoms auch darauf hingewiesen, dass das Kondom keinen hundertprozentigen Schutz gegen HIV bieten kann. Auf einer Flugreise nach Kamerun im März 2009 behauptete Papst Benedikt XVI., dass es keine Antwort zur Bekämpfung von AIDS sei, wenn man einfach nur Kondome verteile, sondern dies die Situation in Afrika verschlimmere.[42][43]

Sonstiges

  • Im volkstümlichen Sprachgebrauch existieren für Kondome zahlreiche Synonyme, unter anderem „Pariser“, „Verhüterli“, „Lümmeltüte“, „Präser(l)“, „Gummi“, „Nahkampfsocke“, „Fromms“ oder „Frommser“ (jeweils nach dem Hersteller), „Londoner“, „Überzieher“, „Tüte“, „Rammelbeutel“.
  • In der DDR waren Kondome im Allgemeinen unter der Bezeichnung „Mondos“ oder umgangssprachlich als „Gummi-Fuffzcher“ (nach dem Preis von fünfzig Pfennig) erhältlich. Berühmt war hierfür der diskrete Versand von H. Kästners Familienunternehmen aus Dresden, der bis zu zwei Millionen Kondome pro Jahr versandte. Der Bau der ersten Kondomfabrik wurde von Karl-Heinz Mehlan initiiert, der auch die Antibabypille in der DDR einführte.
  • In Bayern gilt seit dem 16. Mai 2001 ein „Kondomzwang“ für weibliche wie männliche Prostituierte und deren Freier (§ 6 Verordnung zur Verhütung übertragbarer Krankheiten[44]).
  • In der französischen Stadt Condom (deren Name eigentlich nichts mit dem Verhütungsmittel zu tun hat) gibt es ein Verhütungsmuseum. Dies ist wohl Touristen geschuldet, die sich immer wieder über den Namen der Stadt lustig machten.
  • Das Wort „Kondom“ war gemeinsam mit AIDS das Wort des Jahres im Jahre 1987.

Literatur

  • Jeanette Parisot: Dein Kondom – das unbekannte Wesen. Ein Pariser-Buch. BuntBuch-Verlag 1985, ISBN 3-88653-080-9.
  • Marianne Ursula Bauer: Die Frommser-Saga: alles über Kondome von A bis Z. Neuer Sachsenverlag, Leipzig 1991, ISBN 3-910164-28-5.
  • Deutsches Institut für Gütesicherung und Kennzeichnung: Kondome. Gütesicherung RAL-RG 203. Beuth, Berlin 1996.
  • Caspar Frei: Viva Kondom, alles über Kondome, woher sie kommen, wozu man sie braucht, wem sie nützen. Olms, Zürich 1993, ISBN 3-283-00263-0.
  • Ian Harvey: Kondome quer durchs Curriculum. Verlag an der Ruhr, Mülheim an der Ruhr 1995, ISBN 3-86072-191-7.
  • Mavis Jukes: Küsse, Kerls, Kondome. Was Mädchen wissen wollen. Droemer Knaur, München 1998, ISBN 3-426-82129-X.
  • Claudia Klier: Kondome, na sicher! Eine Broschüre über Empfängnisverhütung und Schutz vor Ansteckung. Maudrich, Wien – München 1990. ISBN 3-85175-531-6.
  • Karl Hoche: Ihr Kinderlein kommet nicht! Geschichte der Empfängnisverhütung. Ullstein 1983, ISBN 3-548-20327-2.
  • Helen Epstein: The Invisible Cure. Africa, the West, and the Fight against AIDS. New York 2007.

Weblinks

 Commons: Kondome – Sammlung von Bildern, Videos und Audiodateien
 Wiktionary: Kondom – Bedeutungserklärungen, Wortherkunft, Synonyme, Übersetzungen
 Wikibooks: Benutzung von Kondomen – Lern- und Lehrmaterialien

Einzelnachweise

  1. ↑ Hochspringen nach:a b c Stiftung Warentest: Test von Kondomen In: test.de, 9. April 2009, abgerufen am 10. Dezember 2012.
  2. Hochspringen „Kondome – Made in Germany.“ In: Medizin Produkte Recht, Band 13, Nr. 2, 2013, S. 68–72, S. 68.
  3. Hochspringen pro familia: Das Kondom. Abgerufen am 30. Mai 2010.
  4. Hochspringen Latexfreie Kondome .de: Materialien. Abgerufen am 15. März 2013.
  5. Hochspringen Kit Connel asks Durex Customer Support: Polyisoprene and Oil. Abgerufen am 15. März 2013.
  6. Hochspringen Pressemitteilung des DIN
  7. Hochspringen mach's mit ... Kondom! Safer Sex - wie und wozu?. In: Bundeszentrale für gesundheitliche Aufklärung. .
  8. Hochspringen Europäische Penisgrößenstudie des Instituts für Kondom-Beratung. .
  9. Hochspringen T Schneider, H Sperling, G Lümmen, J Syllwasschy, H Rübben: Does penile size in younger men cause problems in condom use? a prospective measurement of penile dimensions in 111 young and 32 older men.. In: Urology. 57, Nr. 2, 2001, S. 314–318. doi:10.1016/S0090-4295(00)00925-0PMID 11182344.
  10. Hochspringen Hunter Wessells, Tom F. Lue, Jack W. McAninch: Penile Length in the Flaccid and Erect States: Guidelines for Penile Augmentation.. In: The Journal of Urology. 156, Nr. 3, 1996, S. 995–997. doi:10.1016/S0022-5347(01)65682-9PMID 8709382.
  11. Hochspringen K Promodu, K V Shanmughadas, S Bhat, K R Nair: Penile length and circumference: an Indian study.. In: International Journal of Impotence Research. 19, Nr. 6, 2007, S. 558-63.doi:10.1038/sj.ijir.3901569PMID 17568760.
  12. Hochspringen Smith AM, Jolley D, Hocking J, Benton K, Gerofi J.: Does penis size influence condom slippage and breakage?. In: International Journal of STD & AIDS. 9, Nr. 8, 1998, S. 444—447.doi:10.1258/0956462981922593PMID 9702591.
  13. Hochspringen Christian Grov, Brooke E. Wells and Jeffrey T. Parsons: Self-Reported Penis Size and Experiences with Condoms Among Gay and Bisexual Men. In: Archives of Sexual Behavior. 2012.doi:10.1007/s10508-012-9952-4PMID 22552706.
  14. Hochspringen Michael Reece, Brian Dodge, Debby Herbenick, Christopher Fisher, Andreia Alexander, and Sonya Satinsky: Experiences of condom fit and feel among African-American men who have sex with men.. In: Sexually Transmitted Infections. 83, Nr. 6, 2007, S. 454-7. doi:10.1136/sti.2007.026484PMID 17699559.
  15. Hochspringen R A Crosby, W L Yarber, S A Sanders, C A Graham, K McBride, R R Milhausen, J N Arno: Men with broken condoms: who and why?. In: Sexually Transmitted Infections. 83, Nr. 1, 2007, S. 71-5. doi:10.1136/sti.2006.021154PMID 16870644.
  16. Hochspringen Crosby RA, Yarber WL, Graham CA, Sanders SA.: Does it fit okay? Problems with condom use as a function of self-reported poor fit.. In: Sexually Transmitted Infections. 86, Nr. 1, 2010, S. 36-8. doi:10.1136/sti.2009.036665PMID 20157178.
  17. Hochspringen Aids im öffentlichen Bewusstsein 2010, Forsa-Studie im Auftrag der BZgA.
  18. Hochspringen P. Frank-Herrmann et al.: The effectiveness of a fertility awareness based method to avoid pregnancy in relation to a couple's sexual behaviour during the fertile time: a prospective longitudinal study. In: Human Reproduction. 22, Nr. 5, 2007, S. 1310-1319. doi:10.1093/humrep/dem003PMID 17314078.
  19. Hochspringen Cates, Willard and Raymond, Elizabeth, Hatcher, Robert A. et al. (Hrsg.): Contraceptive Technology. 19 Auflage. Ardent Media Inc., New York 2008, Vaginal Barriers and Spermicides.
  20. Hochspringen novafeel.de Pearl Index verschiedener Verhütungsmethoden
  21. Hochspringen Fichtner, Jörg: Über Männer und Verhütung. Münster 2001. ISBN 3-89325-714-4
  22. Hochspringen Stoppard, Miriam: Sexualität und Partnerschaft. Berlin 2002, ISBN 3-332-01011-5
  23. Hochspringen Fichtner, Jörg: Wie Man(n) verhütet, so liebt Man[n)?. In: Bundeszentrale für gesundheitliche Aufklärung (Hrsg.): Kontrazeption, Konzeption, Kinder oder keine. Köln 1996
  24. Hochspringen FAQ Aidshilfe Schweiz.
  25. Hochspringen Jörg Fichtner: Über Männer und Verhütung. Münster, 2001. ISBN 3-89325-714-4.
  26. Hochspringen Reece M, Herbenick D, Sanders SA, Monahan P, Temkit M, Yarber WL: Breakage, slippage and acceptability outcomes of a condom fitted to penile dimensions.. In: Sex Transm Infect.. 84, Nr. 2, 2008, S. 143-9. doi:10.1136/sti.2007.028316PMID 17971373.
  27. Hochspringen Smith AM, Jolley D, Hocking J, Benton K, Gerofi J.: Does penis size influence condom slippage and breakage?. In: Int J STD AIDS. 9, Nr. 8, 1998, S. 444-7.doi:10.1258/0956462981922593PMID 9702591.
  28. Hochspringen FDA proposes new warning for over-the-counter contraceptive drugs containing Nonoxynol-9.
  29. Hochspringen cvua Stuttgart: Krebserregende N-Nitrosamine in Kondomen
  30. Hochspringen Stiftung Warentest: Test von Kondomen In: test.de und test 8/2004, S. 88-92
  31. Hochspringen BfArM Wissenschaftliche Aufarbeitung
  32. Hochspringen Toxicological evaluation of nitrosamines in condom...[Int J Hyg Environ Health. 2001] – PubMed Result.
  33. Hochspringen EKD:Für ein Leben in Würde (PDF; 696 kB)
  34. Hochspringen dpa: Vatikan will Aids-Kranken Kondome erlaubenDer Tagesspiegel (24. April 2006).
  35. Hochspringen Meldung der Tagesschau: Lockerung des Kondomverbots (Die ursprüngliche Seite ist nicht mehr abrufbar.) → Erläuterung.
  36. Hochspringen Meldung des Stern: Lockerung des Kondomverbots
  37. Hochspringen Kampf gegen Aids – Papst lockert das strikte Kondom-Verbot, spiegel.de, 20. November 2010.
    Grammar experts needed for pope comment on condoms, blogs.reuters.com/faithworld, 21. November 2010.
  38. Hochspringen http://www.stuttgarter-zeitung.de/stz/page/2715879_0_9223_-katholische-kirche-papst-verteufelt-kondome-nicht-mehr.html?_skip=1
  39. Hochspringen http://www.spiegel.de/panorama/gesellschaft/0,1518,730320,00.html.
  40. Hochspringen http://de.reuters.com/article/worldNews/idDEBEE6AM0I320101123
  41. Hochspringen http://www.nytimes.com/2010/11/24/world/europe/24pope.html.
  42. Hochspringen Offizielle Webseite des Vatikans: INTERVIEW VON BENEDIKT XVI. MIT DEN JOURNALISTEN WÄHREND DES FLUGES NACH AFRIKA, Dienstag, 17. März 2009
  43. Hochspringen Frankfurter Allgemeine ZeitungDer Kommentar: Kondome als Lebensart? von Georg Paul Hefty, 20. März 2009.
  44. Hochspringen Hygiene-Verordnung Inhaltsverzeichnis