Kamis, 06 Maret 2014

hari Perempuan Internasional

hari Perempuan Internasional dirayakan pada tanggal 8 Maret setiap tahun. Ini adalah sebuah hari besar yang dirayakan di seluruh dunia untuk memperingati keberhasilan kaum perempuan di bidang ekonomi, politik dan sosial. Di antara peristiwa-peristiwa historis yang terkait lainnya, perayaan ini memperingati kebakaran Pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 1911 yang mengakibatkan 140 orang perempuan kehilangan nyawanya.
Gagasan tentang perayaan ini pertama kali dikemukakan pada saat memasuki abad ke-20 di tengah-tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada 8 Maret 1857 di New York City. Para buruh garmen memprotes apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini membentuk serikat buruh mereka pada bulan yang sama dua tahun kemudian.
Di Barat, Hari Perempuan Internasional dirayakan pada tahun sekitar tahun 1910-an dan 1920-an, tetapi kemudian menghilang. Perayaan ini dihidupkan kembali dengan bangkitnya feminisme pada tahun 1960-an. Pada tahun 1975PBB mulai mensponsori Hari Perempuan Internasional.
Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2014, Institut Ungu menggagas sebuah pertunjukan teater berjudul “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” karya penulis dan sutradara Faiza Mardzoeki, yang akan digelar mulai tanggal 7 hingga 9 Maret 2014 bertempat di GoetheHouse (Ruang Teater) – Goethe Institut Jakarta.
Proses teater ini berawal dari penelitian yang dilakukan Faiza Mardzoeki bersama timnya selama hampir dua tahun. Penelitian ini dilakukan antara lain dengan mewawancarai para perempuan penyintas tahanan politik ’65 di Jogjakarta, Solo. Klaten, Sragen, Semarang, Jakarta, serta beberapa eksil Swedia dan Belanda, hingga mengunjungi lokasi yang dulu dipakai sebagai tempat isolasi para tahanan perernpuan, Plantungan. Selain wawancara, tim membaca berbagai literatur sejarah dan diadakan pula diskusi dengan berbagai kalangan ahli sejarah ’65.
Penulisan naskah drama dengan latar sejarah ’65 bukan perkara mudah. Apalagi Faiza dan timnya adalah generasi yang lahir tahun 70 an, yang bertahun-tahun mengalami langsung era ‘ketakutan’ akibat propaganda hitam tentang perempuan-perempuan tahanan politik ’65 oleh Orde Baru.
Apa yang dijumpai di lapangan saat melakukan riset adalah hal yang bertolak belakang dengan apa yang dijejalkan melalui kurikulum sekolah resmi. Akhirnya naskah bisa diselesaikan di awal Januari 2013. Proses selanjutnya melakukan tahapan ‘reading’ dan bongkar-pasang struktur cerita hingga menemukan titik yang paling dianggap tepat. Lalu melakukan audisi calon pemain dan memulai proses latihan dan diskusi bersama tim kreatif dan para aktor yang akan berperan, sejak Oktober 2013.

Fast Tube by Casper

Fast Tube by Casper
“Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” mengangkat kisah pergulatan pikiran dan batin lima perempuan berumur 70an sampai 83 tahun yang dulu pemah menjadi tahanan politik ’65 selama lebih dari sepuluh tahun. Mereka bertahan menghadapi hari-hari di masa tuanya dan bergulat dengan kenangan kegembiraan dan kebanggaan akan masa mudanya. Dengan menggendong pengalaman pahit dan traumanya akibat kekerasan seksual, mereka menghadapi stigma yang ditempelkan padanya oleh kekuasaan.
Ini semua harus dihadapi oleh cucu salah seorang dari eyang-eyang ini, baik sebagai tantangan pribadi dan keluarga maupun sebagai perempuan muda yang memikirkan realitas negerinya. Masa lalu mereka merupakan bagian dari sejarah Indonesia yang ikut membentuk generasi sekarang, yaitu kita semua.
Teater ini dibuat untuk memberi suara dan menolak lupa tentang para perempuan korban politik ’65. Mereka, para penyintas itu adalah warga negara sah yang mempunyai hak sama dengan warga negara lainnya. Mereka bahkan telah turut serta membangun fondasi bagi berdirinya bangsa Indonesia, terutama bagi kemajuan perempuan. Akan tetapi mereka telah diperlakukan tidak adil dalam berbagai bentuknya, antara lain dengan dipenjara bertahun-tahun tanpa pernah ada proses hukum, mengalami kekerasan seksual selama masa penahanan, diberi stigma dan fitnah seksual.
Pementasan teater “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” menampilkan 6 aktor perempuan yang sudah berpengalaman dalam dunia akting. Mereka adalah Pipien Putri, Niniek L. Karim, Heliana Sinaga, Ruth Marini, Irawita dan Ani Surestu.
Tim Kreatif terdiri dari Penata Musik dan Komposer Marcello Pellitteri, musisi yang berbasis di New York (pernah bekerjasama dalam produksi Institut Ungu 2011, Rumah Boneka), Penata Panggung dan Cahaya Iskandar Loedin, Penata Suara Mogan Pasaribu, Videografer Amerta Kusuma, Penata Kostum Irina Dayasih, Penata Rias Atha Cucok dan Asisten Sutradara Ayes Kazzar serta Pelatih Akting Wawan Sofwan.
“Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” mendapat dukungan dana dari Hivos dan Elemental Productions (Los Angles) dan donasi dari berbagai kalangan.  Kegiatan ini juga didukung oleh berbagai organisasi masyarakat antara lain ELSAM, KontraS, LBH Jakarta, Komnas Perempuan, Perempuan Mahardhika, Indonesia untuk Kemanusiaan dan Bites.

Pengantar Faiza Mardzoeki, Produser, Penulis dan Sutradara “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer”
Tentang Proses Kreatif dan Memaknai Sejarah Perempuan
Karya “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” dipicu oleh sebuah kunjungan ke seorang perempuan yang pernah menjadi tahanan politik ’65, pada 2010 bersama sahabat-sahabat ‘Bites’Perempuan yang kami kunjungi itu adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia.
Perempuan itu sudah sangat sepuh, yang kemudian kuketahui berumur 87 tahun. Ketika kami datang, perempuan itu sedang tidur meringkuk ringkih di sebuah dipan yang sangat sederhana, hanya ditemani sebuah radio transistor tua. Beliau kelihatan sudah sangat rapuh. Melihat kedatangan kami. beliau masih bisa menyambut ramah, meskipun tampak sangat letih dan sakit. Semangatnya menjadi bangkit ketika kami menjelaskan bahwa kami adalah perempuan-perempuan aktivis yang ingin besuk dan ingin mendengar pengalaman dan belajar sejarah. Meskipun terbata, semangat apinya terasa begitu menyala saat menceritakan pengalaman dan kebanggaan masa mudanya.
Perempuan itu bernama Umi Sardjonomantan pimpinan tertinggi sebuah organisasi wanita Indonesia, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Organisasi perempuan ini merupakan yang paling besar di Indonesia bahkan di dunia pada tahun 60an. Beberapa bulan kemudian, saya mendengar kabar Ibu Umi Sardjono wafat. Saya merasa bersyukur berkesempatan bertemu langsung dengan beliau meskipun hanya sekali.
Pada pertemuan itu, Ibu Umi menceritakan tentang masa mudanya, tentang organisasinya dan juga tentang kawan-kawannya. Masa muda penuh harapan yang menggelora, penuh harapan memandang negeri Indonesia. Tentang sepak terjangnya dalam kancah pergerakan perempuan di tingkat nasional dan internasional. Namun, kebanggaan masa muda itu, dengan begitu tiba-tiba dirampas hingga menggiringnya ke sebuah siksa dan pemenjaraan bahkan fitnah seksual yang hingga hari ini belum dicabut.
Sejak pertemuan itu, hati dan pikiran saya menjadi gelisah luar biasa membayangkan perjalanan ibu Umi Sardjono dan kawan-kawannya serta semua perempuan yang pernah ditahan dari satu penjara ke penjara lainnya hingga ke Plantungan akibat peristiwa politik ’65′ tersebut. Buat saya, pengalaman para perempuan itu dahsyat luar biasa, di luar batas-batas kemanusiaan yang saya pahami. Siksa batin dan fisik dihantamkan kepada mereka begitu senyap dan kejam sejak saat usia begitu muda hingga akhir hayatnya. Namun, kulihat mereka berkehendak untuk tetap tegar.
Proses Penulisan Naskah dan Penggarapan Panggung
Tidak terlalu lama, kemudian saya mulai tergerak untuk mencari tahu lebih jauh kisah para perempuan korban ’65′ itu. Lalu saya mulai melakukan penelitian kecil dengan membaca berbagai buku dan literatur sejarah. Selain itu riset lapangan dibantu oleh Irina Dayasihantara lain dengan mewawancarai para perempuan yang pernah menjadi tahanan politik ’65 di Jogjakarta, Solo, Klaten, Sragen, Semarang, Jakarta hingga mengunjungi lokasi yang dulu dipakai sebagai tempat isolasi atau pembuangan para tahanan perempuan, Plantungan. Saya juga sempat melakukan wawancara dengan beberapa eksil di Swedia dan Belanda. Selain itu, melakukan studi sederhana di perpustakaan Leiden dan Amsterdam.
Penulisan naskah drama dengan latar sejarah ’65 bukan perkara mudah. Apalagi saya adalah generasi yang lahir di tahun 70an, yang bertahun-tahun mengalami langsung era ketakutan akibat propaganda hitam tentang perempuan-perempuan tahanan politik ’65 oleh rezim Orde Baru. Apa yang dijumpai di lapangan saat melakukan riset adalah hal yang bertolak belakang dengan apa yang dijejalkan melalui kurikulum sekolah resmi yang saya alami. Selain itu kisah dan materi yang saya dapat di perjalanan riset itu sangat banyak dan beragam.
Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer - Institut Ungu
Dengan melewati beberapa kali perubahan, akhirnya saya menemukan struktur dan plot ceritanya. Seluruh kejadian dalam drama “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” ini berangkat dari kisah tutur para perempuan yang pernah menjadi tahanan politik ’65 dan dari berbagai sumber catatan sejarah yang saya baca. Namun semua tokoh dan plotnya adakah fiksi. Saya mengatakan bahwa cerita drama ini terinspirasi oleh fakta sejarah.
Beruntung saya sangat didukung oleh Max Lane dan I Gusti Agung Ayu Ratih, di mana keduanya merupakan akademisi dan juga aktivis yang telah banyak melakuan studi sejarah ’65. Mereka berdua menjadi tempat bertanya saya kalau ada informasi atau catatan sejarah yang perlu penjelasan lebih lanjut. Selain itu banyak kawan lain yang telah dengan baik hati memberi masukan-masukan yang sangat berguna bagi proses penulisan naskah hingga dihidupkan dalam panggung pementasan.
Dari Naskah ke Proses Penggarapan
Akhirnya naskah yang hampir mencapai 100 halaman itu bisa diselesaikan di awal Januari 2013. Kemudian saya melakukan audisi terbatas calon pemain. Perkara mencari pemain juga tidak mudah. Mengalami bongkar pasang. Bahkan ada yang mengundurkan diri setelah menyadari bahwa cerita drama ini tentang sesuatu yang menurutnya itu terlalu berat dan mengandung unsur politik. Selain itu tidak mudah saya mencari aktor perempuan yang umurnya hampir 45-60 an tahun untuk  peran karakter orang tua berumur 70-80 an tahun. Pada akhirnya saya menemukan casting yang pas, meskipun mereka tidak semua sesuai umur yang saya inginkan. Tantangannya adalah mereka harus bermain atau memainkan peran untuk umur yang lebih tua.
Proses selanjutnya, Juni 2013 memulai melakukan tahapan reading‘, diskusi dan bongkar-pasang struktur cerita hingga menemukan titik yang paling dianggap tepat. Perubahan-perubahan terus berjalan pada proses latihan. Naskah yang tadinya bisa dimainkan dalam waktu yang bisa mencapai empat jam itu, akhirnya bisa dipadatkan menjadi dua jam.
Para aktor juga melakukan riset / pengamatan dan diskusi dengan para mantan tahanan politik perempuan itu. Berbagai diskusi dan pertemuan dengan para perempuan mantan tahanan politik ’65 yang sudah berusia senja itu menjadi salah satu jembatan saya dan seluruh aktor untuk masuk ke wilayah masa lalu yang tidak kami alami itu. Tutur pengalaman para perempuan tersebut menjadi ‘buku’ baru yang harus kami buka dan baca baik-baik sambil mengingat buku-buku dan suara-suara dari masa lalu yang kami alami langsung di era orde baru itu.
Dalam proses ini, tantangan kami bukan hanya soal proses kreatif dan capaian estetika dalam mewujudkan karya pertunjukan teater. Lebih dari itu, bagaimana kami semua yang terlibat dalam kerja kolaboratif ini memaknai dan menghayati sejarah kelam bangsa sendiri.
Dalam beberapa kali pertemuan dengan para perempuan korban ’65 itu, kami mengenal Paduan Suara Dialita (Paduan suara beranggotakan para perempuan korban ’65 dan keluarganya).
Grup Paduan Suara Dialita memperkenalkan sebuah lagu berjudul “Salam Harapan”. Lagu ini diciptakan di dalam penjara Bukitduri oleh tahanan perempuan bernama Ibu Murtiningrum sebagai penulis lirik, dan ibu Nungtjik sebagai pencipta lagunya. Membaca liriknya dan mendengarkan lagunya, saya tergerak untuk menggunakan lagu tersebut di dalam pertunjukan teater ini.
Dengan kemurahan hatinya, Dialita berkenan melakukan rekaman lagu ‘Salam Harapan’ yang saya gunakan dalam salah satu adegan. Lalu ada adegan lain, para aktor juga menyanyikannya di atas panggung. Buat saya, lirik dan lagunya memang sungguh indah, sederhana, memberi harapan dan semangat kemanusiaan.

Fast Tube by Casper
Lalu ada satu lagu lain yang dinyanyikan oleh Lilis Suryani berjudul ‘Tiga Malam’ saya jadikan sebagai back sound dalam satu adegan, yang saya ambil dari YouTube. Lagu ini memberi ingatan tentang sebuah jaman. Dari riset kecil saya, Lilis Suryani merekam lagu ini tahun 1963 dan sangat disukai oleh para perempuan kala itu.
Di luar lagu Salam Harapan dan Tiga malam, seluruh musik diciptakan oleh sahabat saya, seorang musisi dan profesor di Berklee Music Collage yang tinggal di New York, Marcello Pellitteri. Kami bekerja dan mendiskusikan gagasan-gagasan musiknya melalui e-mail. Saya mengirim banyak materi berupa artikel-artikel sejarah ’65, dan memperkenalkan musik yang digemari tahun 60-an seperti lagu Genjer-Genjer. Sementara tata panggung dan cahaya digarap oleh Iskandar Loedin. Saya kemukakan kepada Iskandar, bahwa saya ingin sebuah panggung yang reflektif, di situ ada ruang memori, ruang kegelisahan, juga ruang masa kini yang mempunyai harapan. Karena para tokoh dalam cerita inl bergulat dengan masa lalu, trauma dan harapan-harapannya.
Ucapan Terimakasih
Secara khusus saya sangat berterima kasih kepada para perempuan yang pernah menjadi tahanan politik ’65, khususnya mereka yang telah menyediakan waktu dan membagi pengalamannya dan bersedia menuturkan kisah-kisah yang membanggakan maupun kisah siksa yang tidak mudah untuk diceritakan kembali. Maafkan kami, kalau ada kekeliruan bertanya ataupun membuat kisah kekejian itu terungkit kembali. Dari mereka, saya dan seluruh tim belajar banyak. Pengalaman dan pikiran-pikiran mereka menjadi pelajaran sejarah yang sangat penting.
Selanjutnya saya juga ingin menyampaikan terima kasih karena kegiatan ini juga didukung oleh berbagai organisasi masyarakat antara lain ELSAM, Komnas Perempuan, Kontras, LBH, Perempuan Mahardhika, Indonesia untuk Kemanusiaan, Bites dan majalah Historia. Untuk produksi, “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” mendapat dukungan dana dari Hivos, Elemental Productions yang berbasis di Los Angles (Rob Lemelson) dan donasi dari berbagai kalangan individu.
Kepada Goethe lnstitut tidak lupa saya haturkan banyak terima kasih atas fasilitas gedung yang diberikan sehingga teater ini bisa dipersembahkan untuk publik. Kepada seluruh aktor, tim kreatif dan tim manajemen produksi yang luar biasa, terima kasih telah menaruh saling percaya dalam semangat kerjasama yang indah untuk mewujudkan pertunjukan ini bisa hadir di hadapan publik.
Saya berharap, pertunjukan teater ini memberi manfaat bagi siapa saja yang berkenan menonton dan mengikuti proses kami. Teater ini dibuat untuk memberi suara dan menolak lupa tentang para perempuan korban politik ’65. Mereka adalah warga negara sah yang mempunyai hak sama dengan warga negara lainnya. Mereka bahkan telah turut serta membangun fondasi bagi berdirinya bangsa Indonesia, terutama bagi kemajuan perempuan. Akan tetapi mereka telah diperlakukan tidak adil dalam berbagai bentuknya, antara lain dengan dipenjara bertahun-tahun tanpa pernah ada proses hukum, mengalami kekerasan seksual selama masa penahanan, diberi stigma dan fitnah seksual.
Teater “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” kami dedikasikan kepada para perempuan yang pernah menjadi tahanan politik ’65 dan korban kekerasan seksual di Indonesia dan di seluruh dunia. Selamat merayakan Hari Perempuan Internasional 2014. Salam budaya untuk kesetaraan dan keadilan…

Pemesanan Tanda Masuk dan Pembayaran Donasi
Pertunjukan Teater “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer”
Tempat : Goethe House – Goethe Institut, Jl. Sam Ratulangi No.9-15 Jakarta
Waktu:
  • Tanggal 7 – 8 Maret 2014  Pukul 20.00
  • Tanggal 9 Maret 2014  Pukul 15.00
Adapun tanda masuk / donasi untuk pertunjukkan ini adalah sebesar Rp.50.000,- Seluruh hasil donasi pertunjukan teater “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” akan disumbangkan untuk para Perempuan Korban ‘65 dan akan disalurkan melalui Pundi Perempuan yang dikelola oleh Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan.
Goethe Institut Jakarta
Goethe Institut Jakarta
Lobi GoetheHouse
Lobi GoetheHouse. Pertunjukan Teater “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” akan dipentaskan di GoetheHouse (Ruang Teater) – Goethe Institut Jakarta

Pemesanan tanda masuk bisa dilakukan dengan menghubungi Trisfahilda 081293973609 dan Nega Yoselina 085691006126, atau Email: institutungu.publikasi@gmail.com dengan menyebutkan nama, nomor telepon, alamat dan jumlah tanda masuk yang dipesan.
Pemesanan tanda masuk mulai dibuka pada tanggal 3 Februari 2014 dan akan ditutup tanggal 6 Maret 2014. Untuk tanda masuk bisa diambil pada tanggal 7 Maret 2014, dengan membawa bukti transfer jika sudah melakukan pembayaran dan menyebutkan kode booking.
Pembayaran donasi untuk tanda masuk bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu:
  • Transfer ke rekening BCA cab. Matraman No.Rek: 3423059008 atas nama YAYASAN SOSIAL INDONESIA UNTUK KEMANUSIAN
  • Di lokasi pertunjukan mulai pukul 14.00 s/d 18.00 untuk tanggal 07-08 Maret 2014 dan mulai pukul 11.00 s/d 13.00 untuk tanggal 09 Maret 2014, dengan mendatangi Petugas Kotak Donasi yang sudah disediakan oleh panitia dengan syarat telah melakukan pemesanan terlebih dahulu yang dilakukan paling lambat tanggal 6 Maret 2014. Apabila sampai dengan hari H jam 18.00 untuk tgl 07-08 Maret 2014 dan jam 13.00 untuk tgl 09 Maret 2014 tanda masuk belum diambil, maka tanda masuk tersebut dianggap batal.
Ada beberapa aturan yang sebaiknya dicermati  bagi Anda yang ingin menyaksikan pertunjukkan “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” di GoetheHouse – Goethe Institut Jakarta :
  • Setiap penonton wajib membawa tanda masuk pada saat akan memasuki ruang pertunjukan
  • Penonton tidak diperbolehkan masuk apabila terlambat, dan pertunjukan sudah dimulai
  • Penonton diharuskan sudah datang di lokasi pertunjukan paling lambat pukul 19.00 atau 1 jam sebelum pertunjukan dimulai
  • Pertunjukan akan dimulai tepat pukul 20.00 untuk tanggal 07-08 Maret 2014 dan pukul 15.00 untuk tanggal 09 Maret 2014 dan pintu gedung pertunjukan akan ditutup 30 menit sebelum pementasan dimulai
Bagi Anda yang ingin menyaksikan pertunjukan teater “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” bergegaslah untuk booking / memesan tempat terlebih dahulu berhubung kapasitas GoetheHouse (Ruang Teater) – Goethe Institut mampu menampung sekitar 300 penonton saja.

Poster : Institut Ungu
Foto: Didi S. – NihDia.com
Video (YouTube) : Institut Ungu, Joel Thaher
Sumber : Konferensi pers, Media Rilis, Facebook “Teater Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar